SUARA MEDIARAJAWALI – Jusuf Kalla, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Indonesia, menyoroti pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5 persen. Ia menilai angka tersebut hanya sekedar angka di atas kertas dan tidak mencerminkan realitas di lapangan.
Jusuf Kalla (JK) menyamakannya dengan perusahaan yang memiliki neraca bagus namun arus kasnya rusak dan memiliki banyak utang. Hal tersebut disampaikan saat berbincang dengan Gita Wirjawan melalui tayangan Youtube dikutip suarasmr.news pada Minggu (13/10/2024).
“Lima persen itu angka yang ditulis BPS (Badan Pusat Statistik) berdasarkan dokumen. Sama kayak perusahaan neraca bagus tapi cash flow rusak. Boleh saja bagus neraca, tapi isinya utang,” ujar Jusuf Kalla.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi 5 persen tidak berdampak signifikan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari kinerja ekspor yang meskipun tercatat surplus, namun devisa hasil ekspor justru mengalir ke negara lain, terutama China dan Singapura.
JK mencontohkan ekspor komoditas Sumber Daya Alam (SDA) seperti nikel dan batu bara yang menghasilkan devisa dalam bentuk dolar, namun devisa tersebut tidak kembali ke Indonesia.
“Contohnya ekspor kita memang di neraca, di BPS tinggi, tapi kalau didetailkan devisa kemana? Ini lari ke China, Singapura,” jelasnya.
JK juga mengkritik target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto. Ia menilai target tersebut tidak realistis mengingat pertumbuhan 5 persen saja tidak mencerminkan pertumbuhan yang sesungguhnya.
JK bahkan pernah mengusulkan agar sistem ekspor Indonesia dibuat seperti Malaysia dan Thailand. Dalam hal ini, hasil ekspornya itu diterima dalam bentuk mata uang masing-masing seperti ringgit dan bath.
Akan tetapi usulan tersebut sampai saat ini, tidak pernah dilakukan. Dan imbasnya, devisa hasil ekspor terus melayang ke negara lain.
“Jadi untuk apa ekspor banyak-banyak nikel kalau terus lari ke China itu dolar, devisanya. Buat apa ekspor batu bara kalau lari semua ke Singapura, nothing,” pungkasnya.
Pernyataan JK ini menimbulkan pertanyaan penting tentang kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apakah angka pertumbuhan ekonomi yang tercatat benar-benar mencerminkan kesejahteraan masyarakat?
Atau hanya sekedar angka di atas kertas yang tidak berdampak nyata bagi kehidupan rakyat? Pertanyaan ini perlu dikaji lebih lanjut agar kebijakan ekonomi Indonesia dapat benar-benar berdampak positif bagi seluruh lapisan masyarakat. (akha)