SUARASMR.NEWS – Mahkamah Konstitusi (MK) mengadakan sidang lanjutan untuk menguji materi Undang-Undang (UU) Maju Dalam Kerangka (MD3) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Sidang di Mahkamah Konstitusi ini membahas permohonan dari Koalisi Perempuan Indonesia terkait keterwakilan perempuan di parlemen.
Koalisi Perempuan Indonesia mempersoalkan ketentuan dalam UU MD3 yang dinilai belum menjamin keterwakilan perempuan. Hal ini terlihat dari minimnya representasi perempuan di alat kelengkapan dewan periode 2024–2029.
Mereka menilai bahwa ketentuan tersebut merugikan hak konstitusional perempuan dalam sistem parlemen. Salah satu tuntutan mereka adalah terpenuhinya minimal 30 persen keterwakilan perempuan di setiap fraksi.
Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan, Rochayati Basra, hadir sebagai pihak terkait. Ia menyampaikan bahwa Indonesia sebagai negara hukum menjamin perlindungan hak asasi manusia.
Menurutnya, upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen melalui kebijakan afirmatif sebesar 30 persen merupakan bagian dari implementasi konvensi HAM internasional.
“Ini termasuk upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen melalui kebijakan afirmatif sebesar 30 persen,” ujar Rochayati di Jakarta, Selasa (24/6/2025).
Rochayati menambahkan bahwa kebijakan afirmatif merupakan perlakuan khusus yang bersifat konstitusional, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Namun, ia juga menyebut bahwa UU MD3 memberi ruang fraksi memilih pimpinan AKD berdasarkan meritokrasi. Penentuan ini lebih mengutamakan integritas dan kompetensi dibanding sekadar pertimbangan gender.
Ia menilai bahwa penerapan kuota 30 persen secara kaku justru menyulitkan pelaksanaan di lapangan. Oleh karena itu, ia menyarankan pengaturan kuota perempuan lebih tepat dimuat dalam UU Pemilu atau UU Partai Politik.
Rochayati menegaskan bahwa tidak dicantumkannya kuota dalam UU MD3 bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan membuka peluang yang lebih luas bagi perempuan secara meritokratis. (red/ria)