SUARASMR.NEWS – Di era modern, tantangan yang dihadapi dalam hal kecurangan dan penipuan atau fraud semakin kompleks dan merajalela di berbagai sektor.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menegaskan bahwa praktik fraud bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanah publik.
“Fraud bukanlah sekadar kesalahan administratif, pelakunya dapat digolongkan sebagai bromocorah, aktor perusak struktur kepercayaan. Dan dalam konteks birokrasi, fraud adalah pengkhianatan terhadap amanah publik,” ujar Sri Sultan, Rabu (25/6/2025).
Pernyataan ini disampaikan dalam acara National Anti-Fraud Conference (NAFC) 2025 di Yogyakarta, yang mengusung tema “Becik Ketitik, Ala Ketara.”
Sri Sultan menekankan bahwa fraud adalah angkara yang harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan Hamemayu Hayuning Bawana, yang mencakup kesejahteraan, keindahan, dan keharmonisan dunia.
Ia mengajak seluruh pihak membangun ekosistem anti-fraud yang dilandasi nilai-nilai kejujuran (satya), pengayoman (pamong), dan rasa memiliki terhadap amanah publik (rumangsa melu handarbeni).
Perjuangan melawan fraud bukan hanya tugas lembaga atau kerja algoritma, tetapi merupakan panggilan moral setiap insan yang ingin dunia ini tetap elok dan adil.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa pemberantasan fraud harus menjadi gerakan kolektif yang berakar pada budaya integritas, bukan sekadar kewajiban administratif.
Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Budi Prijono, sejalan dengan pandangan Sri Sultan. Ia menyatakan bahwa pengawasan dan pemberantasan fraud harus menjadi gerakan kolektif yang berakar pada budaya integritas.
“Fraud atau kecurangan adalah tantangan multidimensi yang dampaknya tidak hanya merugikan secara finansial tetapi juga merusak kepercayaan publik dan mencederai martabat institusi,” ujar Budi.
Budi juga menekankan perlunya kolaborasi lintas sektor dan yurisdiksi dalam menghadapi dinamika fraud modern, termasuk mengantisipasi risiko-risiko strategis secara adaptif.
“Lembaga pengawasan seperti BPK, APIP, dan OJK tidak hanya dituntut akurasi, tetapi juga kemampuan membaca risiko secara strategis dan bertindak lintas sektoral secara adaptif,” katanya.
Presiden ACFE Indonesia Chapter Hery Subowo menjelaskan pemilihan DIY sebagai lokasi penyelenggaraan konferensi dilandasi nilai simbolik Yogyakarta sebagai ruang keteladanan moral.
“Yogyakarta kami pilih bukan semata karena keindahan dan keramahan budayanya, tapi karena ia adalah simbol nilai, pengetahuan, dan keteladanan moral,” ucap dia.
Konferensi yang digelar selama dua hari tersebut menghadirkan enam sesi panel dan satu monolog reflektif, membahas isu mulai dari pengawasan pasar modal hingga fraud digital dan teknologi “deepfake”.
Dalam konteks ini, penting untuk membangun sistem yang mendorong transparansi dan akuntabilitas, sehingga setiap individu merasa bertanggung jawab terhadap amanah yang diembannya.
Dengan demikian, keburukan akan tersingkap dan kebenaran akan tampak pada waktunya, sesuai dengan prinsip etik Jawa yang dipegang teguh oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. (red/adb)