SUARASMR.NEWS – Di tengah dominasi mata pelajaran eksakta dan teknologi yang semakin digandrungi siswa, sejarah kerap terpinggirkan. Dianggap sekadar hafalan, pelajaran ini sering tak mendapat tempat istimewa di hati pelajar.
Namun, bagi Intan C. Handoyo, S.Pd.Gr, guru sejarah di SMA Negeri 4 Kota Malang, sejarah justru adalah kunci memahami siapa kita dan ke mana bangsa ini harus melangkah.
“Kalau tidak kreatif, murid tidak akan tertarik,” tegas Intan saat menjadi narasumber dalam program Ngalam Ilakes Pro 2 Malang, dikutip suarasmr.news, Jumat (1/8/2025).
Menurutnya, sejarah harus dihidupkan, bukan sekadar dihafalkan. Ia mengajak siswa berpikir kritis dan reflektif, menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Salah satu pertanyaan yang sering ia lontarkan di kelas adalah: “Kalau kita tidak dijajah Belanda, apakah Indonesia akan membangun rel kereta api?”
Pertanyaan semacam itu, menurut Intan, membuka ruang diskusi dan kesadaran historis yang lebih dalam. “Sejarah harus menjawab: apa pengaruhnya terhadap hidup kita sekarang?” ujarnya.
Sejarah Bukan Hafalan, Tapi Kesadaran: Ia menyoroti bahwa banyak guru masih menekankan aspek kognitif, padahal sejarah justru menyentuh kesadaran.
“Kalau anak hanya disuruh menghafal tahun dan nama, tanpa tahu maknanya, bagaimana mereka bisa merasa terhubung dengan bangsanya?” kata Intan.
Di luar negeri, seperti Amerika Serikat, latar belakang sejarah justru menjadi modal kuat bagi banyak pengambil kebijakan. Sementara di Indonesia, lulusan sejarah masih sering dikerdilkan hanya sebagai guru atau peneliti, bukan sebagai pemimpin yang membentuk masa depan.
Tantangan digital sejarah terancam dilupakan. Intan tak menutup mata pada tantangan zaman. Era digital membuat generasi muda terbiasa dengan jawaban instan.
Mereka mengandalkan internet tanpa membaca buku secara utuh, dan sosial media menciptakan ruang gema yang memperkuat pendapat sendiri tanpa dialog.
“Anak-anak kita semakin sulit membuka diri pada perspektif sejarah yang luas dan kritis,” ungkapnya.
Sejarah Dimulai dari Rumah: Tak hanya guru, Intan juga menekankan pentingnya peran keluarga. Ia menyayangkan bahwa banyak anak tak mengenal sejarah keluarganya sendiri.
“Jangankan sejarah negara, nama kakek atau nenek sendiri saja tidak tahu. Padahal, keluarga adalah tempat pertama pembentukan kesadaran sejarah,” ujarnya.
Intan berharap generasi muda Indonesia tumbuh menjadi pribadi yang sadar akan akar dan identitasnya. “Kalau tidak tahu kita siapa, jalan ke depan tidak akan terlihat,” tutupnya.
Dengan semangat itu, Intan terus menghidupkan sejarah di ruang-ruang kelas, menyalakan obor kesadaran, dan mengajak anak-anak muda tidak sekadar menjadi penghafal, tapi penafsir masa depan bangsa. (red/akha)