SUARASMR.NEWS – Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menuai gelombang kritik.
Meskipun Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas dalam jumpa pers yang digelar Jumat (01/08/2025) malam, menyampaikan Presiden Prabowo tetap berkomitmen pada penguatan pemberantasan korupsi.
Pasalnya, keduanya merupakan terpidana kasus korupsi kategori yang sebelumnya secara tegas dikecualikan dari penerima pengampunan.
Padahal, pada Januari lalu, Supratman mengumumkan program amnesti besar-besaran bagi 44.000 narapidana demi mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan.
Kriteria yang ditetapkan kala itu hanya mencakup terpidana makar tak bersenjata di Papua, pelanggaran UU ITE terkait penghinaan presiden, narapidana dengan penyakit berat seperti gangguan kejiwaan atau HIV-AIDS, serta pengguna narkotika yang seharusnya direhabilitasi.
Koruptor dan teroris dinyatakan tegas tidak termasuk. Namun fakta berkata lain. Tom dan Hasto justru mendapatkan amnesti dan abolisi.
“Sepanjang sejarah, belum pernah ada amnesti atau abolisi untuk terpidana korupsi, langkah ini berpotensi menjadi celah bagi koruptor untuk lolos dari jerat hukum,” tegas Peneliti ICW, Yassar Aulia.
Nada serupa datang dari Transparency International Indonesia (TII). Sahel Muzammil menyebut keputusan ini sangat prematur karena kasus keduanya belum inkracht.
“Kalau ini politisasi hukum, harus diungkap siapa dalangnya dan diadili,” ujar Sahel Muzammil dalam keterangannya.
Saat ini, Tom masih mengajukan banding atas putusan pengadilan negeri, sementara KPK berencana naik banding terhadap putusan Hasto di tingkat pertama.
Guru Besar Hukum UI, Sulistyowati Irianto, menilai dugaan politisasi menjadi alasan yang kerap digunakan untuk memberi amnesti dan abolisi. Namun ia menegaskan, Presiden Prabowo wajib memberi penjelasan.
“Keduanya jadi tersangka di era Prabowo, tapi sekarang justru dibebaskan. Publik perlu tahu alasan dan tujuannya,” kata Sulistyowati menandakan.
Dengan kasus yang memantik perdebatan sengit ini, publik menanti jawaban: benarkah ini murni kebijakan kemanusiaan, atau ada agenda politik besar di baliknya? (red/akha)