SUARASMR.NEWS – Fenomena perkawinan anak di Bali kembali menjadi sorotan tajam. Sekretaris LBH APIK Bali, Luh Putu Anggreni, S.H., mengungkapkan bahwa praktik tersebut masih sering terjadi dan menjadi tantangan besar bagi perlindungan anak di Pulau Dewata.
Menurut Anggreni, perkawinan dini bukan sekadar pelanggaran hak anak, tetapi juga ancaman nyata bagi masa depan generasi muda mulai dari pendidikan yang terhenti, kesehatan reproduksi yang terabaikan, hingga meningkatnya risiko kekerasan dalam rumah tangga.
“Banyak orang tua masih menganggap perkawinan dini sebagai jalan keluar untuk menutupi aib keluarga, terutama ketika terjadi kehamilan di luar nikah,” ungkap Anggreni beberapa waktu lalu.
Ia menegaskan, justru dari pernikahan dini inilah muncul persoalan baru yang lebih kompleks. “Remaja yang menikah dini umumnya belum siap secara mental dan ekonomi untuk berumah tangga,” tambahnya.
Untuk memutus mata rantai praktik tersebut, LBH APIK Bali bersama Yayasan Lentera Anak Bali aktif menggandeng tokoh adat dan desa pakraman guna memperkuat peraturan adat (pararem) yang melarang perkawinan usia dini.
Tak hanya itu, edukasi tentang hukum, sosial, dan kesehatan reproduksi juga digencarkan melalui kelompok perempuan dan remaja di desa-desa.
“Pendekatan kultural menjadi cara yang paling efektif. Kami ingin masyarakat sadar bahwa perkawinan anak bukan solusi, melainkan sumber masalah baru,” tegas Anggreni.
Ia juga menyerukan dukungan luas dari tokoh masyarakat dan lembaga pendidikan untuk membangun kesadaran kolektif dalam menjaga hak anak agar bisa tumbuh dan belajar secara layak.
“Perubahan pandangan masyarakat adalah kunci. Inilah langkah penting menuju Bali yang ramah anak, bebas dari praktik yang merugikan generasi muda,” pungkasnya. (red/niluh)













