SUARASMR.NEWS – Awan kelam menyelimuti lereng Gunung Lawu. Di balik rencana megah pembangunan Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) berkapasitas 86 Mega Watt (MW) di Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah.
Rencana pembangunan ini tersimpan potensi bencana ekologis besar-besaran seperti longsor, krisis air, hingga kehancuran ekonomi rakyat yang bergantung pada pertanian dan wisata alam di wilayah tersebut.
Peringatan keras ini dilontarkan oleh Beyrra Triasdian, Manajer Renewable Energy dari Trend Asia, dalam diskusi publik bertajuk “Geothermal, Petaka Berkedok Potensi”.
Acara ini digelar oleh Aktivis Lingkungan Jaga Lawu bersama Pemuda Muhammadiyah Karanganyar di Aula Universitas Muhammadiyah Karanganyar (UMUKA) pada Kamis (6/11/2025).
“Lebih dari 57% lahan di Jenawi itu rawan longsor sedang hingga tinggi. Kalau tetap dipaksakan proyek panas bumi di sana, bencana hanya tinggal menunggu waktu,” tegas Beyrra dengan nada prihatin.
Tak hanya ancaman longsor, krisis air bersih juga mengintai. Wilayah Jenawi diketahui memiliki banyak sumber air vital yang menopang pasokan air bagi Solo Raya dan sekitarnya.
Aktivitas pengeboran panas bumi, menurut Beyrra, berpotensi memutus aliran air bawah tanah, menimbulkan erosi parah, bahkan mematikan mata air alami yang selama ini menjadi denyut kehidupan warga dan pertanian.
“Untuk proyek sebesar 86 MW, kebutuhan airnya bisa mencapai 16 juta liter per hari! Itu setara dengan kebutuhan air 90 juta orang setiap harinya!” ungkapnya dengan nada terkejut.
Trend Asia menilai, jika proyek ini dijalankan, ekonomi lokal Jenawi yang bertumpu pada pertanian rakyat dan wisata alam akan kolaps. Janji pemerintah soal ekowisata berbasis energi terbarukan disebut hanya ilusi manis.
“Faktanya, yang menikmati nanti justru perusahaan besar. Warga yang selama ini mengelola wisata Lawu dan sawah-sawah di sekitarnya justru bisa terusir dari tanah sendiri,” ujar Beyrra menohok.
Ia menambahkan, pembangunan proyek dengan status Proyek Strategis Nasional (PSN) akan membuka lahan luas sekitar 33 hingga 106 hektar hanya untuk eksplorasi awal dan memutus akses warga terhadap tanah pertanian, pemukiman, serta jalur wisata.
“Dampak sosial ekologisnya luar biasa. Bukan hanya tanah yang rusak, tapi juga tatanan hidup masyarakat yang selama ini menyatu dengan alam,” pungkasnya.
Sementara itu, Aan Shopuanudin, aktivis Jaga Lawu, mengingatkan bahwa perjuangan rakyat Karanganyar menolak proyek serupa sudah berlangsung sejak 2016–2018.
Kala itu, mereka berhasil menghentikan proyek Pertamina Geothermal Energy berkat solidaritas masyarakat, aktivis, dan LBH Muhammadiyah.
Kini, isu panas bumi Jenawi dianggap sebagai kamuflase baru dari eksploitasi di kawasan Gunung Lawu yang masih sama rentannya.
“Ini bukan sekadar isu lingkungan. Ini soal martabat dan masa depan bumi Lawu. Gunung Lawu adalah gentongnya air dan sumber kehidupan bagi warga Karanganyar,” tegas Aan penuh semangat.
Aan Shopuanudin juga menegaskan bahwa gerakan Jaga Lawu bersama LHKP dan PP Muhammadiyah akan terus berjihad untuk merawat bumi.
“Ini adalah jihad kami. Fikih lingkungan bukan teori, tapi tanggung jawab moral untuk menjaga ciptaan Tuhan,” ujarnya lantang disambut tepuk tangan peserta diskusi.
Dengan situasi yang kian memanas, publik kini menanti langkah pemerintah daerah dan pusat: Apakah akan berpihak pada alam dan rakyat, atau pada proyek panas bumi yang disinyalir membawa bencana? (red/adb)














