SUARASMR.NEWS – Penunjukan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 memicu kekhawatiran di kalangan akademisi.
Ketua Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA UI, Inayati, mengingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi menimbulkan risiko besar bagi marketplace, baik secara teknis maupun hukum.
“Penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak memang berbasis pada sistem withholding tax. Tapi, risikonya tidak kecil. Mereka bisa terkena sanksi besar jika terjadi kesalahan setor atau keterlambatan,” ujar Inayati saat berbicara di Auditorium EDISI FIA UI, Minggu (21/7/2025).
Inayati menjelaskan, sesuai UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), kesalahan dalam pemungutan dan penyetoran pajak bisa dikenakan sanksi 100 persen dari pajak yang kurang dibayar, ditambah bunga 2 persen per bulan jika terlambat.
Lebih lanjut, ia menyoroti kompleksitas bisnis di marketplace, seperti adanya sistem retur barang, yang bisa menyulitkan penghitungan pajak secara tepat. “Kalau barang dikembalikan, bagaimana nasib pajak yang sudah dipungut? Ini belum jelas,” tambahnya.
Menurut Inayati, pemerintah tidak bisa hanya menyerahkan tugas pungut pajak lalu lepas tangan. Ia mendesak agar mitigasi risiko dilakukan, salah satunya dengan menyederhanakan administrasi perpajakan agar tidak membebani pihak ketiga.
“Minimal marketplace butuh kepastian hukum. Jangan sampai mereka yang membantu negara justru menanggung risiko terlalu besar,” tegasnya.
Marketplace juga dibebani tugas tambahan: memverifikasi surat pernyataan dari pedagang yang omzetnya di bawah Rp500 juta agar tidak dipungut PPh. Padahal, jumlah pelapak bisa mencapai jutaan dan banyak yang berpotensi melakukan tax planning dengan memecah usaha.
“Kalau diverifikasi manual, itu pekerjaan luar biasa besar. Apakah ini mau dibebankan ke marketplace juga? Ini mestinya tugas DJP sebagai penegak hukum pajak,” ujarnya.
Yang tak kalah penting, Inayati memperingatkan potensi eksodus pedagang dari marketplace ke platform lain seperti Instagram, sebagai upaya menghindari pajak. Hal ini bisa mengurangi efektivitas kebijakan PMK 37/2025.
“Kalau tidak ada sosialisasi dan insentif yang tepat, pedagang bisa kabur ke platform yang lebih longgar. DJP dan marketplace harus aktif menjelaskan manfaat dan aturan pajaknya,” pungkasnya. (red/akha)