SUARASMR.NEWS – Keputusan Pemerintahan Prabowo–Gibran yang menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menandai langkah politik yang penuh risiko.
Alih-alih memperkuat legitimasi pemerintahan baru, kebijakan ini justru berpotensi menjadi blunder politik besar yang bisa mengguncang kepercayaan publik di masa mendatang.
Bagi sebagian masyarakat, keputusan ini seperti membuka kembali luka lama sejarah Orde Baru masa ketika rakyat berjuang menumbangkan kekuasaan yang dianggap menindas dan otoriter.
Reaksi keras yang bermunculan menunjukkan bahwa memori kolektif bangsa terhadap tragedi dan pelanggaran HAM di masa lalu belum benar-benar usai.
Prabowo seolah lupa bahwa konsolidasi kekuatan pendukung Orde Baru telah lama berakhir. Sejak tumbangnya Soeharto pada 1998, Indonesia telah memasuki era baru yang dipimpin oleh kekuatan civil society, yang menghendaki sistem demokratis, terbuka, dan anti militerisme.
Ironisnya, pengampunan rakyat terhadap Prabowo yang pernah dikaitkan dengan pelanggaran HAM dan kemudian diberi kesempatan untuk memimpin negeri ini seolah tidak dimaknai secara mendalam.
Dalam pandangan publik, Prabowo kini terlihat kian percaya diri, bahkan lebih berani mengambil langkah-langkah yang dinilai melampaui gaya kepemimpinan mantan mertuanya, Soeharto.
Pada masa Soeharto, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) memang terjadi, namun cenderung dilakukan secara tertutup dan terselubung. Kini, publik justru menilai praktik serupa dilakukan secara lebih terbuka melalui pengangkatan keluarga, kerabat, dan kolega ke berbagai posisi strategis di pemerintahan dan BUMN.
Namun, kesalahan terbesar Soeharto bukan semata KKN. Lebih dari itu, ia dianggap terlalu tunduk pada kekuatan asing, kehilangan semangat kemandirian nasional, serta melupakan cita-cita para pendiri bangsa.
Kolaborasinya dengan kepentingan luar negeri, ketergantungan pada lembaga-lembaga keuangan internasional, hingga pembatasan kebebasan berpikir, dinilai menjadi akar dari kemerosotan karakter bangsa.
Dari situlah muncul kekhawatiran bahwa Prabowo dan Jokowi tengah mengulang kesalahan besar yang sama. Upaya mengimpor pesawat tempur bekas, pembukaan lahan besar-besaran untuk proyek food estate.
Hingga ketergantungan pada pinjaman luar negeri, dianggap sebagai tanda bahwa arah pembangunan nasional belum benar-benar berpihak pada kemandirian bangsa.
Kebijakan impor sampah plastik dan eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali memperlihatkan betapa pemerintah masih terperangkap dalam logika kapitalisme global sebuah pola lama yang menempatkan bangsa ini hanya sebagai penyedia bahan mentah bagi kepentingan asing.
Baik Soeharto, Jokowi, maupun Prabowo, dalam pandangan kritis sebagian kalangan, sama-sama terjebak dalam ketakutan terhadap kekuatan global, dan gagal menunjukkan kemandirian sejati Indonesia di hadapan dunia.
Padahal, di bawah kepemimpinan Bung Karno, Indonesia pernah berdiri tegak sebagai bangsa yang disegani dan menjadi panutan bagi negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Kini, sejarah kembali mengetuk. Pemerintahan Prabowo–Gibran menghadapi ujian integritas dan kedaulatan moral.
Apakah ia akan mampu membuktikan diri sebagai pemimpin yang berpihak pada rakyat, atau justru menjadi bayangan masa lalu yang kembali berkuasa dengan wajah baru? Satu hal pasti, sejarah tidak pernah memberikan ruang kedua bagi mereka yang lupa pada amanat penderitaan rakyat. (red/SHE)
Oleh: Saiful Huda Ems (SHE)
Lawyer, Analis Politik, dan Aktivis Reformasi 1998













