SUARASMR.NEWS – Child grooming adalah proses manipulasi emosional yang dilakukan orang dewasa untuk membangun hubungan dan kepercayaan dengan anak atau remaja, dengan tujuan eksploitasi atau pelecehan seksual.
Ini merupakan ancaman serius yang sering kali terjadi secara diam-diam dan pelakunya bisa berasal dari lingkungan terdekat korban. Di balik layar ponsel yang tampak polos, tersimpan ancaman mengerikan yang siap memangsa anak-anak tanpa ampun.
Fenomena child grooming modus manipulasi psikologis oleh orang dewasa untuk menjebak anak di bawah umur demi tujuan seksual kini menjelma menjadi teror sunyi di era digital.
Pelaku tidak lagi datang dengan wajah garang. Mereka menyamar sebagai teman sebaya, mengirimkan hadiah dan perhatian manis, hingga perlahan mengisolasi korban dari keluarga dan lingkungan sosialnya.
Semua dilakukan dengan sabar, halus, dan penuh tipu daya hingga anak terperangkap dalam jaring manipulasi yang sulit dilepaskan. Media Sosial dan Game Online jadi pintu neraka baru.
Kasus demi kasus yang terungkap menunjukkan, media sosial dan game online kini menjadi lahan empuk para predator anak. Dari balik avatar lucu dan akun anonim, mereka menebar jebakan dengan bahasa lembut yang mematikan.
Korban yang awalnya merasa dicintai dan diperhatikan, perlahan dijauhkan dari dunia nyata. Ketika kebenaran terungkap, trauma mendalam, depresi, dan gangguan kecemasan pun menjadi bayang-bayang yang menghantui sepanjang hidup korban.
Tak sedikit yang mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) luka batin yang tak kasat mata namun menghancurkan masa depan. Lebih ironis, banyak korban justru merasa malu dan bersalah, membuat mereka tak berani melapor.
Orang Tua Jadi Garda Terakhir: Di tengah gelombang ancaman ini, orang tua adalah benteng terakhir. Komunikasi yang terbuka, pendampingan intensif, dan pengawasan aktivitas digital anak bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban mutlak.
Seorang ibu muda dengan dua anak, mengaku ketakutan setiap kali membaca berita tentang child grooming. Setiap mendengar berita seperti itu dirinya merasa ngeri sekali.
“Saya langsung memperketat aturan penggunaan gadget di rumah dan selalu mengingatkan anak-anak untuk tidak mudah percaya pada orang asing yang terlalu baik atau suka memberi hadiah,” ujarnya
Ia menyampaikan, bahwa menjadi orang tua di era digital bukan hanya soal melarang, tapi juga selalu mendengarkan dan membangun kepercayaan.
“Yang paling penting, saya harus lebih sering mendengarkan cerita mereka tanpa menghakimi. Anak harus merasa aman untuk berbagi apa pun dengan orang tuanya. Kita ini bukan cuma pengawas, tapi juga pendengar utama mereka,” ujarnya. (red/niluh)














