SUARASMR.NEWS – Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi, menegaskan bahwa Demo Nepal 2025 tak bisa hanya dipandang sebagai aksi rakyat melawan korupsi, sebagaimana digambarkan sebagian media global.
Menurutnya, gelombang protes besar itu sejatinya merupakan cerminan tarik-menarik kepentingan asing di jantung Himalaya. Demo Nepal 2025 Bukan Sekadar Gerakan Antikorupsi, tapi Perebutan Pengaruh Global
“Jika bangsa Indonesia tidak belajar dari apa yang terjadi di Nepal, kita bisa jatuh ke dalam jebakan yang sama: gerakan rakyat yang dibungkus jargon hak asasi manusia, demokrasi, dan kebebasan, tetapi sesungguhnya diarahkan untuk melemahkan negara dan melayani kepentingan asing,” tegas Haidar Alwi.
Nepal di Persimpangan Geopolitik: Nepal memiliki posisi geografis strategis, diapit India dan Tiongkok. Jalur Himalaya bukan hanya bentang alam, tetapi juga koridor energi, perdagangan, dan diplomasi. Keterlibatan Nepal dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI) mempererat hubungan dengan Tiongkok, sesuatu yang membuat Barat kian resah.
Karena itu, menurut Haidar, demonstrasi besar 2025 tak bisa dilepaskan dari dinamika geopolitik tersebut.
“Nepal tidak hanya menghadapi persoalan domestik, tetapi juga tarik-menarik kepentingan global. Maka, aksi massa di sana bukan sekadar protes rakyat semata, melainkan bagian dari skenario yang lebih luas,” jelasnya.
Pola Global yang Berulang: Haidar menyoroti bahwa pola serupa sudah terjadi di berbagai belahan dunia. Dari Mesir hingga Libya, Ukraina, Suriah, hingga Tunisia, rakyat dimobilisasi, rezim tumbang, namun yang tersisa justru instabilitas berkepanjangan.
“Pelajaran dari negara-negara itu jelas: rakyat dimobilisasi, rezim dijatuhkan, lalu negara terperangkap dalam jurang kekacauan. Itulah mengapa demo Nepal harus dipandang sebagai sinyal bahaya, terutama bagi negara-negara lain yang sedang menjadi incaran kekuatan asing,” katanya.
Cermin untuk Indonesia: 17+8 Tuntutan: Mengaitkan dengan situasi dalam negeri, Haidar mengingatkan agar munculnya 17+8 tuntutan dari sebagian kelompok di Indonesia dikaji secara kritis. Meski sebagian terdengar normatif, cara penyampaian melalui ultimatum dianggap menyerupai pola destabilisasi di luar negeri.
“Kita tidak boleh menolak kritik rakyat. Namun kita wajib kritis terhadap tuntutan yang dipolitisasi, karena ada perbedaan besar antara aspirasi sejati rakyat dan agenda asing yang menunggangi nama rakyat,” ujarnya.
Demokrasi Pancasila vs Versi Barat: Menurut Haidar, isu HAM dan demokrasi sering dijadikan pintu masuk intervensi asing. Indonesia, tegasnya, punya jalan sendiri: demokrasi Pancasila yang menyeimbangkan hak individu dengan kepentingan bangsa.
“HAM versi Barat kerap kebablasan, bahkan dipakai sebagai alat politik. Sedangkan demokrasi Pancasila lahir dari etika dan musyawarah. Kritik tetap penting, tapi harus membangun, bukan sekadar mengulang jargon asing,” paparnya.
Negara Harus Tegas dan Menenangkan: Ia juga menekankan peran negara dalam menjaga stabilitas: tegas pada provokator, namun tetap membuka ruang aspirasi rakyat.
“Penindakan terhadap provokator bukan pelanggaran HAM, melainkan langkah melindungi masyarakat luas. Di sisi lain, pemerintah wajib membuka kanal aspirasi resmi agar rakyat tetap merasa aman,” tegas Haidar.
Alarm Nepal untuk Indonesia: Haidar menutup dengan peringatan keras: Demo Nepal 2025 adalah alarm bagi Indonesia. Atas nama rakyat, sebuah negara bisa digoyang; atas nama demokrasi, legitimasi bisa dilemahkan; dan atas nama HAM, kedaulatan bisa digerus.
“Bangsa Indonesia harus bisa membedakan kritik sejati yang lahir dari nurani rakyat dan kritik palsu yang ditunggangi agenda asing. Hanya dengan cara itu kita bisa berdiri tegak di atas Pancasila, menjaga kedaulatan, dan melindungi rakyat dari jebakan geopolitik,” pungkasnya. (red/SHE)













