SUARASMR.NEWS – Dalam wacana sufisme Maulana Jalaluddin Rumi, ungkapan seperti anggur, arak, pestapora, seruling, tarian, hingga musim semi bukanlah sekadar gambaran pesta duniawi.
Semua itu adalah bahasa simbolik perlambang kenikmatan ilahiah yang memancar dari hati suci saat merasakan kedekatan dengan Allah Swt. Ia adalah kebahagiaan ruh yang sedang menyaksikan keindahan Sang Kekasih Sejati.
“Saat hati suci merasakan kedekatan dengan Allah, kenikmatan itu menyeruak seperti anggur yang memabukkan jiwa,” ungkap Kuswaidi Syafi’ie, sastrawan sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
Jalaluddin Rumi, sang penyair besar dari Konya, kini melampaui sekat agama dan kebudayaan. Karyanya telah mengilhami berbagai kelompok dan komunitas yang mencintai kasih sayang.
“Jalaluddin Rumi bukan lagi hanya milik umat Islam. Karya-karyanya telah mengilhami berbagai kelompok dan komunitas yang menempuh jalan cinta, kasih sayang, dan kemanusiaan tanpa batas,” tutur Bernando J. Sujibto, kandidat Master Sosiologi di Selcuk University, Konya, Turki.
Menurutnya, setiap buku dan refleksi tentang Maulana Jalaluddin Rumi adalah sebuah hadiah yang layak dibaca siapa pun yang mencari jalan cinta.
Pandangan ini diperkuat oleh pemikir Barat. F.C. Happold menegaskan bahwa sufisme atau tasawuf merupakan gerakan mistik yang paling banyak melahirkan penyair mistik dibandingkan gerakan serupa di belahan dunia mana pun.
Senada dengan itu, pakar Islam klasik Annemarie Schimmel menilai gagasan-gagasan keagamaan dalam tasawuf begitu mudah menjelma menjadi simbol puitik, dan Rumi adalah maestro yang paling piawai dalam menyulap makna spiritual menjadi bait-bait penuh pesona.
Lewat simbol-simbol anggur dan tarian, Rumi seolah menuntun pembacanya menuju satu pesan abadi: bahwa jalan menuju Tuhan adalah jalan cinta, dan cinta sejati tak mengenal batas bahasa, budaya, atau agama.
Nama lengkapnya Rumi adalah Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin Al-Khattabi Al Bakri. Kata Maulana merupakan julukan yang berasal dari kata Mevlana yang memiliki arti tuan kami, sebuah sebutan untuk guru sufisme serta orang-orang terpelajar lainnya.
Sedangkan Rumi dinisbatkan pada daerah Qunawi atau Balkah merupakan sebutan dari kata Rum, sebutan untuk tanah Roma atau Byzantium atau Roma Timur.
Maulana Jalaluddin Rumi dilahirkan pada 6 Rabiul Awwal 604 H/30 September 1207 M di Balkh, yang sekarang adalah kota di Afghanistan bagian utara.
Rumi adalah anak dari seorang ulama terkemuka di Balkh yang bernama Muhammad ibn Husyain Al-Khatibi atau Jalaluddin Bahauddin Muhammad dan biasa disebut dengan Bahauddin Walad atau Baha’ Walad.
Keluarga Rumi merupakan keluarga keturunan Nabi Muhammad lewat jalur Fatimah az-Zahra. Ibunya berasal dari kerajaan Khwarazmsyah. Dari ayahnya, Rumi belajar ilmu agama Islam serta kebudayaan Arab dan Persia.
Gejolak politik antar kerajaan pada masa itu memaksa keluarga Rumi untuk hijrah dari satu tempat ke tempat lainnya sejak Rumi masih berumur 3 tahun.
Misalnya saat hijrah ke Asia Kecil, mereka tinggal sementara di kota Balkh, lalu pindah ke kota-kota lain di Khurasan, seperti Wakhsy, Tirmidz, dan Samarkand.
Keluarga Baha’ Walad juga sempat singgah ke kota Naisabur, dan disambut oleh Syekh Fariduddin Al-Attar. Suatu ketika, Syekh Fariduddin pernah mengungkapkan rasa kagumnya dengan kepribadian Maulana Rumi.
Pasalnya, meski masih muda belia, Maulana Jalaluddin Rumi memiliki tingkat kecerdasan dan ketangkasan yang luar biasa dibandingkan dengan pemuda-pemuda seusianya.
Beliau juga memberikan kitab karangannya yang berjudul Asrar Namih kepada Rumi dan berkata pada ayahnya, “Sesungguhnya anakmu akan menyalakan api dengan cepat di sekam dunia ini.” ucap Syekh Fariduddin Al-Attar.
Dari kota Naisabur, mereka beranjak menuju Baghdad. Terdapat bermacam kejadian yang dialami ayah Rumi selama tiga hari di sana.
la pernah meramalkan kemungkinan runtuhnya Dinasti Bani Abbasiyah, kedatangan khalifah ke kediamannya, dan mangkatnya sang lentera agama, Abu Hafsh as-Suhrawardi.
Abu Hafsh as-Suhrawaali adalah seorang bijak yang alim, terpandang, dan pemilik karya monumental ‘Awarif al-Ma’arif. Dari Baghdad, Baha’ Walad membawa keluargnya keluar menuju Hijaz, kemudian bertolak ke kota Syam, dan menetap cukup lama di sana.
Beberapa versi riwayat menjelaskan perjalanan Baha’ Walad dan putranya Maulana Jalaluddin Rumi menuju kota Arzanjan di negara Armenia.
Lalu mereka juga pernah singgah dalam waktu yang lama di kota Ak-Shahr (Alsehir), Malta, dan Laranda, yang menjadi tempat wafatnya ibunda Maulana Rumi yang bernama Mu’mine Khatun.
Di tempat ini pulalah Rumi dipertemukan dengan seorang gadis bernama Jauhar Khatun yang kemudian ia nikahi dan melahirkan putra yang bernama Sultan Walad.
Perjalanan Baha’ Walad bersama putranya sampai ke kota Konya pada tahun 626 H/ 1229 M. Kedatangannya dimuliakan oleh Sultan Seljuk Romawi, Alauddin Kaiqubad. Baha’ Walad meninggal dunia pada 18 Rabi’ul Awal 628 H/ 1231 M.
Sepeninggal ayahnya, kemudian Maulana Rumi menggantikan kedudukan ayahnya dalam mengajar ilmu Fiqh, memberi fatwa dan mendidik masyarakat.
Di malam terakhir sebelum beliau meninggal, Maulana Jalaluddin Rumi terkena demam parah. Ia lantas menyenandungkan sebuah syair:
Di malam sebelumnya aku bermimpi melihat seorang syekh di pelataran rindu, la menudingkan tangannya padaku dan berkata: “Bersiap-siaplah untuk bertemu denganku.”
Diriwayatkan bahwa syair diatas adalah bait terakhir yang digubah oleh Rumi. Pada Ahad, 5 Jumadil Tsani 672 H/17 Desember 1273 M, Maulana Jalaluddin Rumi wafat. Rumi dilahirkan pada 6 Rabiul Awwal 604 H/30 September 1207 M di Balkh, Afghanistan. (red/akha)
*Artikel ini dikutip suarasmr.news dari berbagai sumber.













