SUARASMR.NEWS – Pada tahun 2025, rasio pajak Indonesia diproyeksikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berada di 10,03 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini menunjukkan penurunan dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 10,08 persen.
Meskipun demikian, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Rosmauli tetap optimistis bahwa penerimaan pajak akan terus tumbuh tahun ini.
Sejak tahun 2022, estimasi capaian rasio pajak Indonesia mengalami tren penurunan. Kementerian Keuangan mencatat bahwa rasio pajak mencapai 10,38 persen terhadap PDB pada tahun 2022, kemudian menurun menjadi 10,31 persen pada tahun 202 10,08 persen pada tahun 2024, dan terakhir merosot ke 10,03 persen pada tahun 2025.
Kontribusi terbesar dari rasio pajak pada 2025 berasal dari penerimaan pajak sebesar 8,72 persen terhadap PDB dan bea serta cukai sebesar 1,30 persen. Kedua angka ini juga berada di bawah target APBN masing-masing sebesar 9 persen dan 1,24 persen.
Rosmauli mengakui bahwa penurunan proyeksi rasio pajak tahun 2025 mencerminkan kompleksitas dinamika global. Untuk itu, pemerintah fokus memastikan keberlanjutan konsolidasi fiskal sekaligus menjaga daya beli masyarakat dan momentum pemulihan ekonomi.
“Dan kami optimistis bahwa dengan reformasi yang konsisten, tax ratio Indonesia dapat meningkat secara berkelanjutan dalam jangka menengah, penerimaan pajak tetap tumbuh,” ungkap Ros dikutip suarasmr.news pada Senin (7/7/2025).
Untuk mencapai target tersebut, DJP merencanakan beberapa strategi utama, yaitu memperluas basis pajak melalui optimalisasi penggunaan data dan pemanfaatan Coretax.
Selain itu meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak melalui edukasi, layanan yang lebih mudah diakses, dan pendekatan berbasis kemitraan. Strategi-strategi ini diharapkan dapat membantu meningkatkan rasio pajak Indonesia di masa mendatang.
Secara simultan, DJP menegakan hukum yang adil dan terukur agar tercipta kesetaraan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, serta menjalin koordinasi intensif dengan instansi lain, baik dalam pertukaran data maupun pengawasan bersama.
DJP juga mengatakan bahwa pihaknya melaksanakan mekanisme Pengawasan Pembayaran Masa (PPM) dan Pengawasan Kepatuhan Material (PKM). Kegiatan PPM mencakup aktivitas pengawasan terhadap Wajib Pajak strategis dan Wajib Pajak kewilayahan.
“DJP terus mengawasi kondisi terkini Wajib Pajak. Misalnya, bagi Wajib Pajak yang mendapat manfaat dari pertumbuhan ekonomi, maka dimungkinkan untuk dilakukan dinamisasi setoran pajak,” ungkap DJP, pada Senin (16/6/25) lalu.
Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mukhamad Misbakhun, juga menyoroti hal tersebut. Ia beranggapan, tren penurunan rasio pajak itu berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi yang terus bertumbuh dalam lima tahun ke belakang.
“Kalau setiap tahun pertumbuhan ekonominya yang terus tumbuh itu memberikan kontribusi [terhadap rasio pajak] 0,02 persen saja, kita sudah dapat tambahan sekitar 4 persen, rasio pajak kita 16,75 persen, dengan PDB Rp22.000 triliun, penerimaan pajak kita bisa mencapai Rp3.500 triliun,” ungkap Misbakhun.
Misbakhun mengestimasi pendapatan negara mampu mencapai sekitar Rp4.000 triliun lebih karena ditambah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta kepabeanan dan cukai. Dengan demikian, apabila kebutuhan belanja negara 2025 dipatok Rp3.621,3 triliun, maka APBN akan mengalami surplus.
Ia berharap tren stagnasi rasio pajak ini dapat menjadi perhatian serius bagi DJP maupun Kemenkeu agar seluruh amunisi dapat digunakan secara optimal. DPR mendorong penguatan strategi intensifikasi dan ekstensifikasi yang telah dipayungi oleh instrumen regulasi. (red/akha)