SUARASMR.NEWS – Kuasa hukum Nadiem Makarim, Dodi S. Abdulkadir, menegaskan penetapan tersangka terhadap mantan Mendikbudristek tersebut cacat hukum dan tidak sah.
Ada tujuh alasan kuat yang disampaikan Dodi, mulai dari ketiadaan audit kerugian negara hingga dugaan pelanggaran prosedur hukum.
“Penahanan Nadiem tidak sah karena alasan yang dijadikan dasar penahanan tidak dibuktikan secara objektif,” ujar Dodi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Tujuh Alasan Penetapan Tersangka Dinilai Bermasalah Diantaranya ;
- Tidak ada audit kerugian negara dari BPK maupun BPKP, padahal itu syarat mutlak.
- Audit BPKP dan Inspektorat soal program TIK 2020–2022 menyebut tidak ada indikasi kerugian negara, bahkan laporan keuangan Kemendikbudristek 2019–2022 mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
- Cacat hukum karena penetapan tersangka dikeluarkan bersamaan dengan surat perintah penyidikan, tanpa dua alat bukti permulaan.
- SPDP tidak pernah diterbitkan maupun diterima, melanggar KUHAP dan putusan MK.
- Program Digitalisasi Pendidikan yang jadi dasar sangkaan disebut tidak ada dalam RPJMN 2020–2024 maupun kebijakan resmi Kemendikbudristek.
- Status jabatan keliru, karena Nadiem dicantumkan sebagai karyawan swasta padahal masih menjabat menteri pada periode yang dipersoalkan.
- Nadiem dinilai kooperatif serta sudah dicekal, sehingga kecil kemungkinan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
Dodi menegaskan, tuduhan kepada kliennya “abstrak, tidak cermat, dan melanggar hak dasar untuk mengetahui dengan jelas perbuatan yang disangkakan.”
Nadiem ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook untuk Program Digitalisasi Pendidikan 2019–2022.
Tak terima, tim kuasa hukum Nadiem mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 23 September 2025. Gugatan itu teregister dengan nomor 119/Pid.Pra/2025/PN.Jaksel.
Sidang perdana praperadilan dijadwalkan pada Jumat, 3 Oktober 2025. Kejagung mengaku menghormati langkah hukum yang ditempuh Nadiem.
“Itu merupakan hak tersangka dan penasihat hukumnya. Praperadilan juga menjadi bentuk check and balance bagi kami sebagai aparat penegak hukum,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna. (red/hil)





 
											








 
										 
										 
										 
										