SUARASMR.NEWS – Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) menjadi salah satu bab paling kelam dalam sejarah Indonesia. Aksi berdarah ini menewaskan sembilan perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dan satu anggota Polri.
Dari sembilan korban, tujuh di antaranya berpangkat jenderal dan kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi. Namun, di balik tragedi yang mengguncang negeri itu, muncul satu pertanyaan besar yang hingga kini masih menjadi teka-teki: Mengapa Mayjen Soeharto saat itu Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) tidak ikut menjadi target penculikan?
Lolos dari Daftar Hitam: Padahal, secara jabatan, Soeharto memiliki pengaruh besar di tubuh Angkatan Darat. Logikanya, ia semestinya menjadi salah satu sasaran utama operasi yang menargetkan para jenderal yang disebut sebagai “Dewan Jenderal”, kelompok yang dituding hendak menggulingkan Presiden Sukarno.
Namun, Kolonel Abdul Latief salah satu tokoh kunci G30S mengungkap alasan di balik pengecualian itu. Dalam persidangan Mahkamah Militer, Latief menegaskan bahwa Soeharto dianggap loyalis Bung Karno, sehingga namanya tidak dimasukkan dalam daftar penculikan.
“Karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran,” ujar Latief, seperti dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).
Kesaksian yang Memunculkan Teori Konspirasi: Meski begitu, kesaksian Latief justru memunculkan pertanyaan baru. Ia mengaku telah memberi tahu Soeharto tentang rencana penculikan para jenderal sehari sebelum peristiwa terjadi.
Dalam buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, sejarawan John Roosa mencatat bahwa Latief menemui Soeharto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, ketika Soeharto sedang menjaga putranya yang dirawat karena luka bakar.
“Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau,” kata Latief.
Roosa menilai G30S bukanlah operasi tunggal PKI seperti yang digambarkan narasi Orde Baru, melainkan peristiwa multifaset yang juga melibatkan konflik internal militer. “Narasi hitam-putih bahwa PKI adalah pelaku tunggal terlalu menyederhanakan kenyataan,” tulisnya.
Soeharto Tahu tapi Diam?: Soeharto sendiri mengakui pernah bertemu Latief malam sebelum G30S, namun keterangannya berubah-ubah. Dalam wawancara dengan Der Spiegel pada 1970, ia menyebut Latief justru datang dengan niat membunuhnya, tetapi mengurungkan niat karena lokasi pertemuan berada di tempat umum.
Namun, dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988), ia hanya menyebut melihat Latief dari kejauhan tanpa sempat berinteraksi.
Kudeta yang Berbalik Arah: G30S sejatinya lahir dari ketakutan akan adanya kudeta Dewan Jenderal yang disebut dekat dengan Amerika Serikat dan anti-PKI. Informasi itu didapatkan PKI melalui simpatisan militer.
Para perwira yang terlibat, seperti Kolonel Abdul Latief, Letkol Untung, dan Mayor Sujono, bekerja sama dengan Kepala Biro Chusus PKI, Sjam Kamaruzaman, untuk menculik para jenderal dan membawanya ke hadapan Sukarno.
Namun, rencana itu kacau. Operasi penculikan berubah menjadi pembunuhan, menewaskan sembilan perwira TNI AD dan satu anggota Polri diantaranya;
Jenderal Ahmad Yani, Letjen R. Suprapto, Letjen MT Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen DI Pandjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, Brigjen Katamso, Letkol Sugiyono, Kapten Pierre Tendean, dan Aipda Karel Satsuit Tubun. Dua target utama, Jenderal AH Nasution dan Brigjen Ahmad Soekendro, berhasil lolos.
Sejarawan Buka Tabir Baru: Banyak sejarawan modern mempertanyakan versi resmi yang selama Orde Baru dikukuhkan sebagai “kebenaran tunggal”.
- Jess Melvin, dalam The Army and the Indonesian Genocide, menilai militer memanfaatkan kekacauan G30S untuk memprakarsai pengambilalihan kekuasaan dan menjalankan operasi pembantaian massal terhadap PKI. “Militer menggunakan struktur komando yang sudah ada, dan Soeharto mengambil peran kunci dalam mengoordinasi penumpasan,” tulisnya.
- Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, menegaskan bahwa sejarah G30S selama Orde Baru “sangat dipengaruhi kepentingan politik”. Menurutnya, pembacaan ulang sejarah diperlukan agar publik bisa melihat peran militer, termasuk Soeharto, secara lebih objektif.
- Robert Cribb, pakar sejarah Asia Tenggara, menilai G30S memang bertujuan melumpuhkan komando tertinggi militer, tetapi tetap penuh teka-teki. “Banyak celah yang belum terjawab tuntas, dan peran Soeharto selalu berada di pusat perdebatan,” ungkapnya.
Pertanyaan yang Tak Pernah Terjawab Tuntas: Fakta bahwa Soeharto justru menjadi tokoh paling diuntungkan mengambil alih kendali militer dan akhirnya menggantikan Sukarno membuat banyak pihak meyakini ada skenario besar di balik peristiwa G30S.
Apakah Soeharto hanya seorang perwira yang “beruntung”, ataukah ia memainkan peran tersembunyi dalam pergolakan yang mengubah arah sejarah Indonesia?
Pertanyaan itu tetap menggantung, meninggalkan ruang spekulasi yang memicu rasa ingin tahu lintas generasi sebuah misteri yang mungkin tak akan pernah terungkap sepenuhnya. (red/akha)













