SUARASMR.NEWS – Dunia pers Indonesia tengah berada di persimpangan jalan paling genting sepanjang sejarah. Anggota Dewan Pakar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Wahyu Muryadi, mendesak negara untuk segera menghadirkan kebijakan.
Yaitu kebijakan yang berkeadilan dan nondiskriminatif demi menyelamatkan keberlangsungan pers nasional yang kian terhimpit badai disrupsi media.
Dalam forum Kaleidoskop Media Massa Tahun 2025 di Jakarta, Selasa, (23/12/25), Wahyu menegaskan bahwa kehadiran negara sangat dibutuhkan, namun harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mencederai independensi pers.
“Negara boleh hadir, tapi harus mencari titik keseimbangan. Jangan sampai kebijakan itu justru mengganggu independensi pers. Tidak boleh diskriminatif, harus fair dan adil,” tegas Wahyu.
Ia mengungkapkan, industri media saat ini sedang menghadapi krisis serius, ditandai dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Faktanya, dalam tiga tahun terakhir, dunia pers mengalami PHK paling besar dalam sejarah. Data Dewan Pers 2023–2024 mencatat sedikitnya 1.200 karyawan media televisi kehilangan pekerjaan,” ungkapnya.
Tak hanya terpukul secara ekonomi, kebebasan pers Indonesia juga mengalami kemunduran drastis. Wahyu menyebut, indeks kebebasan pers Indonesia pada 2025 anjlok ke peringkat 127, turun tajam dari peringkat 111 pada tahun sebelumnya.
“Ini alarm keras. Angkanya merosot banget. Artinya, kita sedang tidak baik-baik saja,” katanya dengan nada prihatin.
Menurut Wahyu, kebijakan negara yang berpihak dapat menjadi jalan keluar untuk mengoreksi berbagai persoalan struktural yang membelit media massa, terutama dalam aspek keuangan dan keberlanjutan usaha.
Ia mencontohkan, pemerintah dapat mempertimbangkan insentif pajak bagi perusahaan pers, meski skemanya harus dibahas secara matang agar tidak menimbulkan dampak balik yang merugikan.
“Sekarang memang eranya digital, jadi insentif untuk percetakan mungkin sudah tidak relevan. Tapi pajak-pajak lain bisa dibicarakan. Yang penting, jangan sampai kebijakan itu malah jadi bumerang bagi pers,” ujarnya.
Wahyu menilai, dialog terbuka seperti yang terjadi dalam Kaleidoskop Media Massa 2025 menjadi momentum penting untuk merumuskan solusi nyata demi menjamin kesejahteraan insan pers di masa depan.
“Diskusi seperti ini harus terus dilakukan agar pers Indonesia tetap hidup, sehat, dan berdaulat,” pungkasnya. (red/akha)












