SUARASMR.NEWS – Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus Anggota DPRD Jawa Timur, Jairi Irawan, menyoroti keras tayangan salah satu program di televisi nasional yang dinilainya mengandung narasi merendahkan dunia pesantren.
Jairi Irawan menilai, siaran tersebut berpotensi meruntuhkan eksistensi pesantren sebagai pilar pendidikan dan keindonesiaan.
“Jika dilihat dari narasinya, seakan ada upaya sistematis untuk meruntuhkan eksistensi pesantren sebagai salah satu pilar pendidikan di negeri ini,” tegas Jairi, Rabu (15/10/2025).
Lebih jauh, Jairi menyebut momen kemunculan narasi tersebut terasa ironis karena terjadi menjelang peringatan Hari Santri Nasional yang jatuh setiap 22 Oktober.
“Ini sangat menyakitkan bagi kami para santri. Di bulan santri, seharusnya televisi nasional ikut mengangkat peran pesantren, bukan justru menebar stigma negatif,” ungkapnya.
Politikus muda NU itu menyerukan agar seluruh elemen bangsa bersatu membentengi pesantren dan para kiai dari segala bentuk upaya yang dapat menggerus marwahnya.
Ia menekankan, lembaga penyiaran semestinya memiliki quality control ketat agar konten yang tayang mencerminkan nilai edukatif, bukan provokatif.
“Dalam setiap program televisi, mestinya ada quality control sebelum tayang. Bahkan, perlu meminta second opinion dari kalangan pesantren agar prinsip cover both sides terpenuhi,” ujarnya.
Sebagai Pengurus GP Ansor Jawa Timur, Jairi menegaskan pentingnya memahami sense of culture ketika mengangkat tema keagamaan.
“Setiap komunitas memiliki nilai budaya dan cara hidup yang berbeda. Kalau tidak peka budaya, hasilnya bisa menimbulkan kesalahpahaman publik,” jelasnya.
Ia juga meluruskan sejumlah pandangan keliru tentang kehidupan pesantren. Jairi menegaskan, tidak ada paksaan dalam sikap santri terhadap kiai.
“Sikap tawadhu santri kepada kiai adalah bentuk cinta dan penghormatan tulus kepada pembimbing spiritualnya. Itu bukan paksaan, melainkan kesadaran hati,” tuturnya.
Jairi menambahkan, kegiatan seperti ro’an (kerja bakti bersama di pesantren) justru menjadi sarana kebersamaan dan pengisi waktu istirahat di tengah padatnya aktivitas belajar kitab.
“Itu tradisi luhur pesantren saling membantu, saling membersihkan, dan saling menumbuhkan,” pungkasnya. (red/akha)





 
											








 
										 
										 
										 
										