SUARASMR.NEWS – Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Timur 2025 akhirnya diumumkan. Namun alih-alih menjadi angin segar, keputusan itu justru memantik gelombang kritik keras dari kalangan buruh.
Federasi Serikat Buruh Bersama Rakyat Bergerak (FSKOBAR) menilai, kenaikan UMP yang ditetapkan pemerintah belum menyentuh realitas kebutuhan hidup pekerja.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur resmi menetapkan UMP 2025 sebesar Rp2.305.985 per bulan, atau naik 6,5 persen dari UMP 2024 sebesar Rp2.165.244,30.
Keputusan tersebut ditandatangani melalui Keputusan Gubernur pada 11 Desember 2024, mengikuti kebijakan kenaikan nasional sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.
Namun bagi buruh, angka itu masih terasa hambar. Sekretaris Jenderal FSKOBAR, Mahfud Zakaria, menegaskan bahwa kenaikan 6,5 persen belum mencerminkan kebutuhan hidup layak, terlebih bagi pekerja yang telah berkeluarga.
“Kalau ini hanya cukup untuk pekerja lajang, lalu bagaimana nasib buruh yang menanggung istri dan anak?” tegas Mahfud saat diwawancarai Pro1 RRI Surabaya, Senin (15/12/2025).
Menurutnya, buruh berharap kenaikan UMP berada di kisaran 8,5 hingga 10 persen agar daya beli pekerja tidak terus tergerus oleh harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan, hingga kesehatan yang kian melambung.
Ia menilai, penetapan UMP yang sempat tertunda juga mencerminkan minimnya sense of urgency pemerintah terhadap persoalan kesejahteraan buruh di tengah dinamika ekonomi yang terus berubah.
Kekhawatiran lain pun mengemuka. Mahfud mengingatkan, jika penetapan UMP hanya berpatokan pada satu angka tanpa melibatkan masukan penuh dari serikat pekerja, maka gelombang ketidakpuasan berpotensi meluas. “Buruh tidak ingin hanya dijadikan objek kebijakan,” ujarnya.
FSKOBAR mendesak pemerintah segera menerbitkan petunjuk teknis penetapan upah paling lambat 20 Desember. Jika tuntutan itu tak dipenuhi, Mahfud memastikan buruh siap turun ke jalan dalam aksi massal yang lebih besar demi mengawal hak-hak pekerja.
Di sisi lain, pemerintah daerah menegaskan bahwa penetapan UMP 2025 telah menggunakan rumus resmi yang mempertimbangkan berbagai variabel, seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Dengan tren ekonomi Jawa Timur yang masih menunjukkan sinyal positif, Mahfud menilai seharusnya terdapat ruang untuk menetapkan upah di atas angka minimum, asalkan semua pihak memiliki visi yang sama dan menempatkan kesejahteraan pekerja sebagai prioritas utama.
Kritik dari Jawa Timur ini menambah panjang daftar suara buruh di berbagai daerah yang menilai kenaikan upah minimum nasional masih jauh dari cukup untuk menjawab kebutuhan hidup riil tenaga kerja Indonesia. (red/akha)












