SUARASMR.NEWS – Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Didin Nurul Rosyidin, mengingatkan bahaya besar di balik politik adu domba berbasis sentimen agama yang kian marak di media sosial.
Ia menegaskan, propaganda keagamaan yang dikemas dengan narasi kebencian dan dikotomi “kita versus mereka” kini menjadi senjata mematikan yang menggerogoti fondasi kebangsaan.
“Dunia dibagi secara sederhana menjadi kawan dan musuh. Narasi ini berbahaya karena mengikis nilai persaudaraan dan kebinekaan,” tegas Didin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (16/10/2025).
Menurutnya, fenomena ini bukan sekadar perdebatan ideologis di ruang digital, melainkan ancaman serius terhadap keutuhan bangsa jika dibiarkan tanpa penanganan bijak.
“Kelompok ekstremis-jihadis sering menyederhanakan realitas menjadi hitam-putih, surga-neraka. Siapa pun yang tak sejalan termasuk pemerintah, ulama moderat, bahkan keluarga akan dianggap musuh,” ujarnya.
Didin menilai strategi adu domba berbasis agama ini kerap dimanfaatkan kelompok ekstrem seperti ISIS, untuk mendelegitimasi pemerintah dan melemahkan otoritas ulama moderat.
Peringatan ini muncul tak lama setelah penangkapan jaringan terafiliasi ISIS di Sumatera Utara dan Sumatera Barat pekan lalu.
Propaganda Digital: Senjata Baru Memecah Bangsa: Alumnus Universitas Leiden, Belanda ini menyebut, propaganda digital berbahaya karena menyusup lewat narasi keagamaan yang tampak suci namun sarat manipulasi.
“Rongrongan ini sering dibumbui ayat-ayat suci. Mereka membenturkan Pancasila dengan dalil agama, padahal keduanya tidak bisa dipertentangkan. Di situlah niat menghancurkan sendi utama bangsa bekerja,” tegasnya.
Lebih jauh, Didin menyoroti dua faktor sosial-politik yang membuat generasi muda rentan terseret arus ekstremisme. Pertama, kegagalan sistem pendidikan agama dalam menghadirkan ajaran yang relevan dengan zaman.
“Banyak ustadz dan kiai sibuk mengulang masa lalu, tapi gagal mengontekstualisasikan ajaran untuk masa kini dan masa depan. Akibatnya, agama terasa jauh dari realitas anak muda,” katanya.
Kedua, budaya populer dalam beragama yang mengandalkan viralitas dan tren semu. Siapa yang bisa menguasai budaya pop beragama, dialah yang menguasai hati anak muda.
“Sayangnya, ini sering menjauhkan mereka dari esensi agama yang sejati rahmat bagi semesta alam,” lanjut Prof. Didin Nurul Rosyidin.
Bangun Ruang Dialog, Jaga Kebinekaan: Putra daerah asal Kuningan, Jawa Barat ini menegaskan, tak ada solusi tunggal untuk melawan propaganda berbasis agama.
Diperlukan kerja sama lintas sektor pendidikan, tokoh agama, pemerintah, dan media untuk menciptakan ekosistem religius yang sehat.
“Yang dibutuhkan adalah ruang dialog terbuka dan jujur, tanpa penghakiman. Anak muda harus diberi ruang untuk bertanya, berdiskusi, dan menemukan makna beragama secara sadar, bukan lewat doktrin menyesatkan,” tutupnya. (red/hil)





 
											








 
										 
										 
										 
										