SUARASMR.NEWS – Di tengah kekayaan budaya Indonesia, nama Raminten menjadi salah satu sosok yang tak terlupakan, terutama di Yogyakarta. Meskipun sudah tidak lagi bersama kita, semangat dan karyanya dalam merangkul masyarakat tetap hidup dalam kenangan.
Raminten, yang dikenal juga sebagai Hamzah Sulaiman atau KMT Tanoyo Hamijinindyo, bukan hanya seorang seniman. Ia adalah sosok ayah yang membangun bisnis, yang sekaligus menjadi rumah bagi ribuan hati yang mencari tempat berteduh. Perjuangannya tidak hanya terbatas pada dunia seni, tetapi juga dalam memajukan komunitasnya.
Film dokumenter “Jagad’e Raminten” menjadi bukti nyata dari perjalanan hidup Raminten. Melalui karya ini, pecinta film dan masyarakat diajak untuk menyelami kehidupan dan warisan sosok Raminten.
Film tersebut menggambarkan bagaimana Raminten tidak hanya dikenal sebagai pengusaha sukses dengan berbagai usaha seperti toko oleh-oleh, restoran, batik, dan pertunjukan cabaret, tetapi juga sebagai sosok yang selalu peduli terhadap keadaan sekitarnya.
Raminten selalu membuka pintu rumahnya bagi siapa saja yang membutuhkan, tanpa memandang latar belakang atau status sosial. Ia percaya bahwa setiap manusia memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan. Semangat ini yang membuatnya dihormati dan dicintai oleh banyak orang.
Dalam menghadapi berbagai tantangan hidup, Raminten selalu menunjukkan keteguhan hati dan keberanian. Ia tidak pernah menyerah dan selalu mencari cara untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekitarnya. Kehidupannya penuh dengan dedikasi dan cinta tanah air, yang membuatnya menjadi panutan bagi generasi muda.
Kini, meskipun sudah tidak lagi bersama kita, semangat Raminten tetap hidup dalam setiap langkah kita. Mari kita jadikan inspirasi dari hidupnya untuk terus berbuat baik dan merangkul keberagaman yang ada di sekitar kita. Dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa warisan yang ia tinggalkan tidak akan pernah pudar dari ingatan kita.
Karya film berdurasi 95 menit ini, disutradarai dan ditulis oleh Nia Dinata, Dena Rachman sebagai produser dan penulis, serta Melissa Karim sebagai co-produser.
Nia Dinata mengungkapkan, film “Jagad’e Raminten” yang dibuat sejak Hamzah masih hidup ini mengandung pesan bagaimana sosok sederhana seorang Raminten yang merangkul tanpa melihat seseorang dari latar belakangnya, tanpa membedakan, namun dilihat dari semangat dan keinginannya untuk bekerja keras.
“Ketika dia melihat itu dalam diri manusia, wah, itu pasti akan dia hargai, Dia emong, dia berikan ini ya, menumbuhkan kekuatan ekonomi juga di individu-individu itu, tapi dia pasti memilih orang yang mau bekerja keras, punya bakat dan mau belajar,” kata Nia Dinata, disela pemutaran Film Jagad’e Raminten di Auditorium IFI Yogyakarta, Minggu (23/6/2025).
Disaksikan lebih dari 250 undangan yang hadir, namun ada yang cukup menarik dengan adanya satu kursi sengaja dibiarkan tetap kosong, yang seolah mempresentasikan kehadiran sosok Hamzah Sulaiman untuk menyaksikan karyanya.
Ini kan filmnya kan awalnya dibuat ini ketika Almarhum masih ada. Masih ada dan kemudian selesainya ini ketika beliau sudah berpulang begitu. Apakah terus kemudian ada perubahan-perubahan dari pembuatannya jadi harus sandingan diubah?
“Kalau di dalamnya sih saya enggak ubah (film dibuat ketika almarhum masih hidup), saya cuma tambahin ending, karena saya pikir itu udah takdirnya memang begitu,” ucap Nia Dinata.
Nia Dinata mengharapkan, melalui film ini nantinya menjadi sebuah semangat yang dapat tersampaikan kepada anak-anak angkat almarhum, sehingga bisa terus melanjutkan apa yang sangat dicintai Hamzah Sulaiman baik melalui Kabaret, maupun dalam berkesenian.
Nantinya, film Jagad’e Raminten ini lanjut Nia Dinata, akan hadir di ArtJog pada tanggal 5 Juli 2025, dan direncanakan akan diputar di IFI Jakarta. Bahkan akan diputar dalam festival film di luar negeri seperti Amsterdam, Amerika, Singapura, Hongkong, hingga Jepang.
“Setelah itu mungkin kita bisa menghubungi membuat screening-screening roadshow kecil-kecil, supaya menginspirasi orang-orang yang di luar Jogja juga gitu, bahwa kalian bisa loh bikin kayak komunitas teater atau kabaret sendiri, dengan apapun yang dimiliki,” ujar Nia Dinata.
Sosok Hamzah Sulaiman: Director of House of Raminten Ratri mengatakan, yang membuat film ini semakin istimewa adalah karena “Jagad’e Raminten” merupakan persembahan terakhir, sebuah kado penuh cinta dari teman-teman dan keluarga besar untuk mendiang Hamzah Sulaiman.
Meski Hamzah Sulaiman telah berpulang sebelum film ini sempat dirilis, namun semua yang terlibat tahu bahwa beliau sangat menantikan hadirnya kisah ini untuk disaksikan oleh masyarakat luas.
“Bapak adalah cahaya bagi begitu banyak orang,” ungkap Ratri, dengan suara yang bergetar dan mata berkaca-kaca saat mengenang figur ayah bagi seluruh keluarga besar Raminten.
Film ini adalah cara untuk meneruskan warisan Raminten, menyebarkan cinta, kepedulian, dan semangat inklusivitas, khususnya bagi masyarakat Yogyakarta yang begitu dekat di hati beliau.
“Bagi kami, dokumenter ini bukan sekadar karya film, tetapi juga sebuah bentuk penghormatan penuh cinta untuk sosok bapak kami, almarhum Hamzah Sulaiman. Beliau adalah cahaya bagi begitu banyak orang, baik sebagai pemimpin, sahabat, maupun figur ayah bagi keluarga besar Raminten,” ujar Ratri.
Figur Sederhana dan Dekat dengan Masyarakat. Sebagai produser dan penulis Dena Rachman mengaku memiliki kesan terhadap sosok Hamzah Sulaiman meski telah berpulang.
“Waktu pas kita datang ke funeralnya Kanjeng, aku sampai kaget kaget lihat itu ada karangan bunga, tulisannya dari becak di depan mirota batik. Itu kan berarti kayak ini hidupnya Kanjeng benar-benar menyentuh banyak orang sampai tukang becak ibaratnya gitu di depan Hamzah Batik, bayangin enggak sih, itu kayak enggak ke pikiran gitu bahwa beliau tuh sebegitu berartinya buat mereka semua gitu,” kata Dena Rachman.
Dena Rachman mengungkapkan, film ini menjadi sebuah representasi sebuah kebaikan yang bisa dilihat semua orang, termasuk mengayomi dan mendorong setiap orang mendapatkan penghidupan yang layak.
Dari proses pembuatan film dokumenter Jagad’e Raminten Dena Rachman juga mengaku terinspirasi untuk melanjutkan pendidikan S3 terutama untuk melakukan riset terkait kekayaan budaya di Indonesia.
“Jadi dari proses skrining ini awalnya kita enggak tahu bakalan kayak gimana dan selama proses filming kita interview banyak orang termasuk Kanjeng dan juga para performernya yang memang beda-beda semuanya dan kita belajar banyak hal dari situ,” ujar Dena Rachman.
Lebih dari sekadar hiburan, Raminten adalah sosok yang menyediakan rumah bagi banyak kaum marginal terutama bagi chosen family mereka. Sosok Raminten tidak hanya memperjuangkan inklusivitas di atas panggung, tetapi juga dalam kehidupan nyata dengan menciptakan penghidupan yang layak dan berkelanjutan.
Raminten adalah sosok yang tak hanya dikenal sebagai seniman, tetapi juga sebagai sosok yang selalu peduli terhadap keadaan sekitarnya. Semangat dan perjuangannya dalam merangkul masyarakat tetap menjadi inspirasi bagi kita semua. Mari kita terus mengenang dan menerapkan nilai-nilai yang ia wariskan, agar semangat Raminten tetap hidup dalam setiap langkah kita. (red/adb)