SUARASMR.NEWS – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum nasional dan daerah harus dipisahkan, dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.
Putusan ini dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam Sidang Pleno MK, sesuai dengan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Dengan putusan ini, pemilu nasional yang meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI akan dilaksanakan terlebih dahulu.
Sementara itu, pemilu daerah meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah akan menyusul setelahnya.
Putusan ini bukan hal baru sepenuhnya. MK sebelumnya telah menyatakan bahwa pemisahan pemilu nasional dan lokal adalah konstitusional melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Dalam putusan tersebut, MK menawarkan enam model pemilu serentak, salah satunya adalah pemisahan berdasarkan tingkatan pemerintahan.
MK menilai bahwa pelaksanaan pemilu serentak selama ini menimbulkan beban teknis yang berat, baik bagi penyelenggara maupun peserta.
Pemilu 2024 menjadi contoh nyata, lima kotak suara dalam satu hari pemungutan terbukti menimbulkan kompleksitas logistik, kelelahan kerja.
Dan bahkan banyak menimbulkan korban jiwa. KPU RI mencatat 181 petugas pemilu meninggal dunia dan 4.770 lainnya mengalami kecelakaan kerja atau sakit selama pelaksanaan Pemilu 2024.
Meski didasarkan pada semangat efisiensi dan perlindungan hak pilih, putusan MK ini memicu kontroversi karena dinilai berpotensi bertentangan dengan konstitusi.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Narotama Surabaya, Dr. Rusdianto Sesung, menilai bahwa putusan ini ibarat “buah simalakama”. Di satu sisi, sebagai putusan MK, keputusan ini bersifat final dan mengikat sesuai Pasal 24C UUD 1945.
Namun di sisi lain, ia berpotensi melanggar Pasal 22E ayat (1) dan (2) serta Pasal 18 ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang mengatur bahwa pemilihan DPR, DPD, presiden, DPRD, dan kepala daerah harus dilakukan setiap lima tahun dalam satu kesatuan waktu.
Menurut Rusdianto, pemisahan ini dapat memperpanjang masa jabatan anggota legislatif dan kepala daerah.
“Jika perpanjangan masa jabatan kepala daerah masih memungkinkan melalui mekanisme penunjukan pejabat sementara, maka perpanjangan masa jabatan DPR/DPRD tidak memiliki dasar hukum yang jelas, kecuali melalui pemilu,” kata Rusdianto dikutip suarasmr.news, Jumat (11/8/2025)
“Bahwa MK telah melampaui kewenangannya sebagai penjaga konstitusi (negative legislator), dan justru memasuki wilayah pembentukan hukum (positive legislator) yang semestinya menjadi tugas DPR dan pemerintah.
Selain problem konstitusional, pemisahan pemilu nasional dan daerah juga dianggap berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran negara maupun partai politik. Pelaksanaan dua pemilu terpisah dalam satu periode lima tahun diprediksi akan meningkatkan biaya kampanye, logistik, dan pengawasan.
Untuk mengatasi kebuntuan ini, Rusdianto mengusulkan agar dilakukan peninjauan kembali terhadap putusan MK tersebut. Namun, inisiatif peninjauan ini sebaiknya datang dari lembaga independen seperti asosiasi pakar hukum tata negara atau akademisi, bukan dari legislatif.
Peninjauan kembali tidak harus langsung terhadap putusan MK, melainkan melalui revisi terhadap sejumlah undang-undang terkait, seperti UU Pemilu, UU Partai Politik, UU Pemerintahan Daerah, dan UU MD3.
Hal ini bertujuan untuk memperkuat prinsip trias politica dan menegaskan kembali batas kewenangan masing-masing lembaga negara.
Sebagai alternatif lain, efisiensi pelaksanaan pemilu juga dapat dicapai melalui penerapan teknologi seperti e-voting, tanpa perlu mengubah tatanan konstitusional yang sudah ada. (red/akha)