Kemiren, Kampung Osing yang Menjaga Tradisi dan Menanti Pasar Harian yang Menghidupi

oleh -560 Dilihat
banner 468x60

SUARASMR.NEWS – Di lereng Gunung Ijen, sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Banyuwangi, tersembunyi sebuah desa yang tak hanya memeluk masa lalu, tetapi merayakannya setiap hari.

Desa Kemiren, rumah bagi komunitas adat Osing suku asli terakhir di ujung timur Pulau Jawa adalah mozaik budaya yang terus berdenyut dalam kehidupan sehari-hari.

banner 719x1003

Kemiren bukan sekadar destinasi wisata budaya. Di setiap sudutnya, mulai dari rumah-rumah kayu bergaya tradisional, aroma kopi sangrai yang pekat, hingga irama khas tari Gandrung dan Seblang, tersimpan napas peradaban yang masih hidup.

Tak heran jika desa ini kini ditetapkan sebagai desa wisata budaya oleh pemerintah daerah. Namun, di balik gemerlap festival seperti Tumpeng Sewu dan Festival Ngopi Sepuluh Ewu, yang saban tahun menyedot ribuan wisatawan, ada pertanyaan yang mengemuka ke mana budaya itu ketika panggung telah dibongkar dan penonton pulang?

Saat lampu sorot meredup, aktivitas ekonomi masyarakat kembali pada ritme harian yang sunyi. Produk-produk lokal seperti kopi Kemiren, pecel pitik, batik motif gajah oling, dan kerajinan bambu tidak memiliki pasar yang berjalan setiap hari.

“Mereka hanya “hidup” saat festival berlangsung seolah budaya hanya bernilai ketika dirayakan, bukan ketika dijalani.”

Di sinilah ide besar muncul: membangun Pasar Tradisional Kampung Osing yang permanen dan beroperasi harian. Bukan sekadar tempat jual beli, tetapi ruang sosial dan ekonomi yang menghidupkan budaya secara utuh dari pangan lokal, batik khas, hingga pertunjukan seni rakyat.

banner 484x341

Pasar musiman yang selama ini mengiringi festival, faktanya belum mampu menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat. Produk budaya yang kaya belum terhubung dengan sistem distribusi dan konsumsi harian. Potensi ekonominya besar, namun infrastruktur pendukungnya masih rapuh.

Baca Juga :  Berapa Lama Batas Waktunya Menyimpan Daging di Freezer?

Jika merujuk pada pemikiran ekonom J.H. Boeke tentang dualisme ekonomi, masyarakat seperti di Kemiren terjebak di antara dua dunia: tradisi yang kental dengan nilai sosial dan pasar modern yang mengejar efisiensi dan keuntungan. Sayangnya, belum ada jembatan kokoh yang menghubungkan keduanya.

Padahal, data menunjukkan pasar tradisional masih menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Hingga 2023, terdapat lebih dari 14 ribu pasar tradisional aktif di Indonesia, mencakup 88,5% unit pasar. Sebanyak 88,33% belanja rumah tangga pun masih dilakukan di pasar tradisional.

Dengan latar itu, membangun pasar harian di Kemiren bukan hanya soal ekonomi tapi tentang menghidupkan budaya dalam bentuk yang berkelanjutan. Pasar bukan sekadar tempat transaksi, tetapi ruang edukasi, regenerasi pelaku UMKM, dan ajang perjumpaan antara wisatawan dan kearifan lokal.

Banyak kota telah membuktikan keberhasilan revitalisasi pasar. Di Denpasar, Pasar Anyarsari yang ditata ulang mencatat kenaikan pengunjung hingga 72% dan omzet kolektif Rp500 juta per bulan. Kemiren pun memiliki potensi serupa dengan daya tarik budaya yang kuat dan komunitas yang aktif.

Pasar harian Kampung Osing akan menjadi simpul penting:

  1. Akses langsung wisatawan dan warga terhadap produk lokal.
  2. Mendorong produksi berkelanjutan, tak lagi bergantung pada musim festival.
  3. Menghidupkan rantai ekonomi dari petani hingga pelaku UMKM.
  4. Menjadi ruang belajar ekonomi dan budaya secara bersamaan.

Dengan pengelolaan yang tepat dari manajemen kebersihan, pembayaran digital, hingga promosi wisata pasar ini bisa tumbuh sebagai pasar semi-modern berbasis budaya, bahkan model ideal untuk daerah-daerah serupa di Indonesia.

Akhirnya, membangun pasar tradisional harian di Kemiren bukan proyek kecil. Ini adalah langkah strategis untuk menciptakan ekonomi rakyat yang berakar, tangguh, dan visioner. Karena di tangan masyarakat Osing, pasar bukan hanya soal untung-rugi tapi warisan, kebersamaan, dan masa depan. (red/akha)

Baca Juga :  Memperingati Hari Tari Dunia di ISI Surakarta dengan Tema "Land of 1000 Kingdoms"

*Sumber: Emy Kholifah Rachmaningsih, Dosen dan peneliti Universitas Muhamamdiyah Jember; Suwignyo Widagdo, Dosen dan peneliti Institut Teknologi dan Sains Mandala; Friscilia Vita Angraeni, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhamamadiyah Jember.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *