SUARASMR.NEWS – Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu melontarkan kritik tajam terhadap kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.
Menurutnya, strategi perpajakan Indonesia selama ini keliru karena lebih mengejar besaran penerimaan negara (revenue) ketimbang meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
“Fakta bahwa targetnya adalah revenue, itu berarti ‘berburu di kebun binatang’. Anda hanya memungut pajak dari orang yang sama, yang diminta membayar lebih banyak,” tegas Mari dalam acara Indonesia Update yang disiarkan di YouTube ANU Indonesia Project.
Mari menilai, pola “berburu di kebun binatang” membuat DJP sekadar mengintensifkan pungutan kepada kelompok pembayar pajak lama tanpa memperluas basis pajak.
Dampaknya, sengketa perpajakan kerap terjadi dan berakhir di pengadilan, sementara kepatuhan masyarakat luas justru tidak meningkat. Kritik Mari semakin menguat ketika menyoroti anjloknya rasio pajak Indonesia.
Per Juni 2025, rasio pajak RI hanya 8,4 persen dari produk domestik bruto (PDB), jauh di bawah rata-rata negara ASEAN yang bisa menembus 16 persen. Ini menunjukkan ada masalah struktural dan administratif yang serius,” ujarnya.
Menurut Mari, rendahnya rasio pajak disebabkan beberapa faktor. Salah satunya adalah besarnya porsi sektor informal yang tidak tersentuh pajak, serta ambang batas bebas pajak UMKM yang dinilai terlalu tinggi.
Saat ini, UMKM dengan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun hanya dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5 persen angka yang disebut Mari jauh lebih longgar dibanding negara lain.
Potensi Tax Ratio 16 Persen: Mengutip kajian Bank Dunia, Mari meyakini Indonesia sebenarnya mampu mengerek rasio pajak dari kisaran 10 persen hingga mencapai 16 persen.
Kuncinya ada pada dua langkah: meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang berpotensi menambah 3,7 persen rasio pajak, serta melakukan reformasi kebijakan pajak yang bisa menambah 2,7 persen lagi.
“Entah itu menaikkan pajak, menerapkan pajak kekayaan, menurunkan ambang batas pajak UMKM yang secara politik memang rumit atau memperluas basis pajak. Dengan kebijakan tepat, kita bisa kembali ke angka 16 persen,” tegasnya.
Mari pun menekankan pentingnya penerapan Government Technology (GovTech) sebagai solusi untuk memperbaiki administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Menurutnya, fokus pada teknologi dan kepatuhan jauh lebih efektif ketimbang sekadar mengejar penerimaan dari pembayar pajak yang sudah patuh.
Kritik keras Mari ini menjadi peringatan serius bagi pemerintah agar reformasi pajak tidak hanya mengejar angka penerimaan, tetapi juga memastikan keadilan dan keberlanjutan sistem perpajakan Indonesia. (red/hil)





 
											







