SUARASMR.NEWS – Konten anomali, seperti meme “Italian Brairot” yang sedang viral di media sosial, menggabungkan unsur hewan, manusia, dan benda mati dalam bentuk yang aneh dan absurd.
Contoh kontennya adalah “tung tung tung sahur” dan “ballerina capuccina” yang aneh dan absurd. Konten ini mudah diakses, termasuk oleh anak-anak.
Menurut Dr. Nur Ainy Fardana Nawangsari, seorang psikolog dari Universitas Airlangga Surabaya, konten ini dapat memberikan dampak negatif, terutama bagi perkembangan anak-anak.
Nur Ainy, yang juga dosen di Universitas Airlangga, menanggapi fenomena ini dengan menyatakan bahwa konten digital yang tidak bermakna berdampak buruk bagi perkembangan anak.
“Anak suka hal visual karena sedang mengembajinasi dan rasa ingin tahu,” ujar Nur Ainy dikutip suarasmr.news, Selasa (10/6/2025).
Imajinasi memang merupakan bagian penting dari tumbuh kembang anak, namun paparan konten yang terlalu sering dan tidak mendidik bisa mengganggu proses ini.
Berbeda dengan kartun yang biasanya memiliki nilai pendidikan, konten anomali muncul terus-menerus di media sosial tanpa batasan. Hal ini membuat anak-anak lebih sering mengaksesnya.
Bentuk kontennya aneh dan tidak realistis dapat mengganggu pemahaman anak terhadap kenyataan. Paparan intensif terhadap konten seperti ini bisa berdampak pada aspek psikologis, kognitif, dan sosial anak.
Dalam masa tumbuh kembang, anak perlu belajar memahami realitas secara konkret. Konten anomali bisa menghambat kemampuan ini.
Anak yang terbiasa menonton konten seperti ini mungkin kesulitan membedakan antara kenyataan dan khayalan. Akibatnya, kemampuan berpikir realistis jadi terhambat.
Menurut Nur Ainy, anak harus mulai belajar hal konkret untuk mengenali dunia nyata. Konten yang tidak mendidik bisa mengganggu pemahaman dan proses berpikir anak.
Secara psikologis, anak bisa mengalami gangguan bila terlalu sering menonton konten anomali. Dampaknya termasuk kecanduan, gangguan fokus, dan lemahnya daya ingat.
Kondisi ini juga memengaruhi kesehatan fisik seperti gangguan tidur, mata lelah, dan nyeri leher. Anak menjadi lebih pasif dalam kegiatan nyata.
Kecanduan juga mengurangi interaksi sosial karena anak lebih fokus pada layar. Ini bisa merusak hubungan dengan lingkungan sekitar.
Nur Ainy menyarankan agar orang tua lebih kritis terhadap tontonan anak di media sosial. Kesadaran ini penting untuk mencegah dampak negatif konten digital. “Batasi screen time anak agar lebih banyak berinteraksi di dunia nyata,” ujarnya.
Orang tua juga perlu mendampingi dan memilihkan tontonan yang bermutu. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik untuk memantau dan mengatur akses anak terhadap konten digital, terutama yang bersifat anomali.
Memberikan panduan dan batasan yang tepat dapat membantu anak mengembangkan imajinasi yang sehat tanpa mengorbankan pemahaman mereka terhadap kenyataan. (red/akha)