SUARASMR.NEWS – Istri terpidana kasus korupsi timah Harvey Moeis, Sandra Dewi, resmi mencabut gugatan keberatan atas penyitaan sejumlah aset miliknya. Langkah itu dilakukan menjelang pembacaan kesimpulan sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (28/10/2025).
Melalui kuasa hukumnya, Sandra mengajukan surat pencabutan gugatan yang berisi pernyataan tunduk pada putusan hukum yang sudah berkekuatan tetap.
“Para pemohon memberikan kuasanya surat pencabutan tertanggal 28 Oktober 2025, yang pada pokoknya menyatakan tunduk dan patuh kepada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujar Hakim Ketua Rios Rahmanto di persidangan.
Majelis hakim kemudian mengabulkan permohonan pencabutan tersebut. Dengan demikian, sidang keberatan yang diajukan oleh Sandra Dewi, Kartika Dewi, dan Raymond Gunawan dinyatakan selesai.
Beberapa aset yang sempat diajukan dalam permohonan keberatan antara lain sejumlah perhiasan mewah, dua unit kondominium di Gading Serpong, rumah di Pakubuwono dan Permata Regency Jakarta, tabungan bank yang diblokir, serta koleksi tas branded.
Dalam gugatannya, Sandra berdalih bahwa dirinya merupakan pihak ketiga yang beritikad baik, dan seluruh aset tersebut diperoleh secara sah dari hasil kerja di dunia hiburan baik melalui endorsement, iklan, pembelian pribadi, maupun hadiah.
Sandra Dewi juga menyebut bahwa sudah memiliki perjanjian pisah harta dengan sang suami Harvey Moeis sebelum melangsungkan pernikahannya.
Namun, pencabutan gugatan ini dilakukan di tengah kepastian hukum terhadap Harvey Moeis, suami Sandra Dewi, yang telah divonis 20 tahun penjara dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk tahun 2015–2022.
Mahkamah Agung sebelumnya menolak kasasi Harvey Moeis, yang terbukti menerima uang Rp420 miliar bersama rekannya, Helena Lim, dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Selain hukuman badan, Harvey juga dijatuhi denda Rp1 miliar (subsider delapan bulan kurungan) serta uang pengganti Rp420 miliar (subsider 10 tahun penjara).
Kasus besar ini disebut menimbulkan kerugian negara hingga Rp300 triliun, menjadikannya salah satu skandal korupsi paling fantastis dalam sejarah pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. (red/ria)





 
											








 
										 
										 
										 
										