SUARASMR.NEWS – Penerimaan pajak Indonesia pada dua bulan pertama tahun 2025 mengalami penurunan signifikan, mencapai hanya 8,6% dari target. Penurunan sebesar 30,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu ini menimbulkan kekhawatiran akan defisit anggaran.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut penerimaan pajak per Februari mencapai Rp187,8 triliun atau baru mencapai 8,6 persen dari target.
Beberapa faktor berkontribusi terhadap penurunan ini. Turunnya harga komoditas utama seperti batu bara, minyak, dan nikel menjadi penyebab utama. Penurunan harga ini berdampak langsung pada penerimaan pajak dari sektor pertambangan.
Selain faktor eksternal, masalah administrasi juga berperan. Penerapan tarif efektif rata-rata (TER) untuk PPh 21 dan relaksasi PPN dalam negeri, serta restitusi pajak tahun lalu yang mencapai Rp265,67 triliun, turut mempengaruhi angka penerimaan.
Sistem Coretax yang baru juga dinilai menjadi penghambat pelaporan PPN, menyebabkan pelaku usaha menunda transaksi. Hal ini menunjukkan pentingnya penyempurnaan sistem perpajakan dan adaptasi terhadap perubahan ekonomi global.
Meskipun situasi ini menantang, penurunan ini juga membuka peluang untuk evaluasi dan perbaikan. Pemerintah dapat memanfaatkan momentum ini untuk melakukan reformasi sistem perpajakan yang lebih efisien dan transparan.
Peningkatan literasi perpajakan bagi masyarakat dan pelaku usaha juga penting untuk meningkatkan kepatuhan dan optimalisasi penerimaan pajak. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat mengatasi tantangan ini dan mencapai target penerimaan pajak di tahun 2025.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda juga mencatat penerimaan pajak turun hingga 30,2 persen pada masa akumulatif hingga Februari 2025. Jika dibandingkan dengan Januari 2024, dia menyebut penerimaan pajak turun 40,4 persen secara year-on-year (yoy).
Huda berpendapat ada dua penyebab utama. Pertama, pengembalian lebih bayar pajak (restitusi) pada perpajakan masa 2024, yang dibayarkan pada Januari kemarin. Restitusi pajak tahun lalu mencapai Rp265,67 triliun atau tumbuh 18,8 persen dibandingkan periode yang sama pada 2023.
Penyebab kedua adalah kisruh sistem Coretax. Dia menilai sistem baru ini membuat pelaporan PPN menjadi terhambat.
“Pelaku usaha menahan transaksi karena gangguan Coretax terjadi selama masa pelaporan hingga Februari untuk transaksi Januari 2025,” kata Huda, dikutip suarasmr.news, Sabtu (15/3/2025).
Huda menyoroti APBN 2025 yang sudah tekor 0,13 persen. Dia khawatir rasio defisit anggaran terhadap PDB mendekati, bahkan lebih dari angka 3 persen pada akhir tahun
Huda menyoroti APBN 2025 yang sudah tekor 0,13 persen. Dia khawatir rasio defisit anggaran terhadap PDB mendekati, bahkan lebih dari angka 3 persen pada akhir tahun.
Belanja pemerintah menurun 7 persen (yoy). Belanja kementerian/lembaga yang merupakan belanja rutin mengalami penyusutan hingga 30,33 persen.
Sementara, belanja program, seperti Makan Bergizi Gratis dan lainnya, tumbuh hingga 6,91 persen. Huda menilai hal ini menunjukkan pemerintah mendorong belanja tanpa melihat kondisi penerimaan yang ada.
Ia juga mencatat utang tumbuh hingga 44,77 persen pada Januari 2025. Pada masa akumulasi hingga 28 Februari 2025, utang bertambah 19,42 persen atau sekitar Rp220 triliun.
“Jika kita bandingkan pada masa akumulasi Februari 2024, peningkatan utang hanya 1,16 persen saja. Jika kondisi seperti ini terus terjadi, kita patut khawatir terkait dengan pengelolaan utang ke depan,” ujarnya. (red/ria)