Dua Sisi Pandangan, Dampak Kenaikan PPN 12 Persen Terhadap Daya Beli

oleh -656 Dilihat
banner 468x60

SUARASMR.NEWS – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menjadi perbincangan hangat. Kejelasan informasi dan transparansi pemerintah sangat penting agar masyarakat dapat memahami dan mengantisipasi dampaknya.

Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), meyakinkan masyarakat, bahwa dampaknya terhadap daya beli akan minimal, hanya sekitar 0,9% kenaikan harga barang dan jasa, serta tambahan inflasi sebesar 0,2%.

banner 719x1003

DJP juga menekankan bahwa kebutuhan pokok dan beberapa jasa penting tetap dibebaskan dari PPN, serta adanya insentif senilai Rp 265,6 triliun untuk menjaga stabilitas harga. Proyeksi inflasi tahun 2025 pun tetap rendah, di kisaran 1,5% hingga 3,5%.

Ilustrasi perhitungan DJP terhadap dampak kenaikan PPN: 1.Minuman Bersoda: Harga minuman tanpa PPN: Rp 7.000. Dengan PPN 11% (2024): Rp 7.000 + Rp 770 = Rp 7.770. Dengan PPN 12% (2025): Rp 7.000 + Rp 840 = Rp 7.840. Kenaikan harga: Rp 7.840 – Rp 7.770 = Rp 70 (0,9%).

Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Lembaga Riset Ekonomi seperti Celios. Mereka berpendapat bahwa kenaikan PPN akan membebani daya beli masyarakat, terutama Gen Z dan masyarakat menengah ke bawah.

Hal ini diperkuat dengan data pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan III-2024 yang hanya mencapai 4,91% secara tahunan dan bahkan turun 0,48% secara triwulanan.

Kekhawatiran pre-emptives inflation bisa dibaca dari ekspektasi kenaikan harga pada akhir tahun 2024 hingga kuartal I 2025, selain karena momentum seasonal libur natal tahun baru, terindikasi akibat pemberlakuan tarif PPN 12 persen.

banner 484x341

“Fenomena pre-emptives inflation akan membuat proyeksi inflasi jauh lebih tinggi pada akhir tahun 2024,” tulis Celios dikutip suarasmr.news, Sabtu (28/12/2024).

Calios menyebut bahwa, kenaikan PPN membuat harga yang harus dibayarkan oleh konsumen terhadap barang dan jasa kena pajak meningkat sebesar 9 persen.

Baca Juga :  Perpanjangan Tax Holiday hingga 2025: Dorongan Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Kenaikan harga tersebut bisa membuat kenaikan indeks harga konsumen (IHK) sebesar 0,14 persen. Pada akhirnya, konsumsi rumah tangga dan dunia usaha bisa menurun hingga 0,37 persen.

Dampak kenaikan tarif PPN juga terlihat pada sektor ekspor, meskipun pengaruhnya relatif lebih kecil dibandingkan komponen lain. Pada tarif 8 persen tambahan kontribusi ekspor sebesar Rp 23,39 triliun, pada tarif PPN 10 persen menjadi Rp 11,63 triliun pada tarif 10 persen, dan minus Rp 11,63 triliun pada tarif 12 persen.

Penurunan ini dapat disebabkan oleh efek tidak langsung dari kenaikan tarif PPN yang meningkatkan biaya produksi barang ekspor, sehingga menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar global.

Dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, pertumbuhan ekonomi tercatat lebih rendah pada angka 4,03 persen, dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan oleh beberapa lembaga internasional seperti World Bank dan IMF sebesar 5,1 persen.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,07 persen ini mencerminkan dampak negatif kenaikan tarif PPN terhadap aktivitas ekonomi, khususnya melalui pelemahan konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Meskipun kenaikan tarif PPN dapat meningkatkan penerimaan negara, konsekuensi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi memerlukan perhatian, terutama untuk mengurangi tekanan pada daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas sektor usaha.

Kenaikan PPN juga memengaruhi rumah tangga kurang mampu. Diperkirakan, pengeluaran mereka akan meningkat hingga Rp 101.880 per bulan atau Rp 1.222.566 per tahun. Bagi keluarga berpenghasilan rendah, kenaikan ini akan menjadi beban tambahan yang berat.

“Tambahan biaya ini bisa mengurangi tabungan, bahkan memengaruhi kemampuan memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan,” kata Celios menegaskan.

Bagi rumah tangga kurang mampu, yang sebagian besar pengeluarannya sudah dialokasikan untuk kebutuhan pokok, tambahan biaya ini bisa memengaruhi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

Baca Juga :  Ketua Banggar DPR RI: Kenaikan PPN 12%: Upaya Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan

“Kenaikan pengeluaran ini bisa mengurangi tabungan mereka, atau bahkan memaksa mereka untuk mengurangi kualitas konsumsi sehari-hari,” jelasnya.

Bagi sebagian keluarga kurang mampu, pengeluaran tambahan ini bisa menjadi beban yang sangat berat, mengingat penghasilan mereka yang terbatas dan ketergantungan pada barang-barang pokok yang kini semakin mahal.

“Dengan demikian, pengaruh kenaikan PPN ini sangat terasa di lapisan paling bawah masyarakat, yang sering kali kesulitan menghadapi perubahan harga yang cepat,” jelasnya.

Senentara Pemerintah selalu menegaskan bahwa kenaikan PPN ini sesuai amanat Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Langkah ini dianggap penting untuk menutup defisit anggaran.

Namun, Celios menyarankan agar optimalisasi penerimaan dari sektor tambang ilegal dan pengemplang pajak, seperti di sektor sawit, dapat dijadikan prioritas sebelum menaikkan PPN.

Perbedaan pandangan ini menunjukkan perlunya analisis lebih mendalam dan pemantauan ketat terhadap dampak kenaikan PPN terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Diharapkan kebijakan ini dapat diimbangi dengan program-program pendukung yang melindungi daya beli masyarakat agar pertumbuhan ekonomi tetap berkelanjutan dan merata. (red/akha)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *