SUARASMR.NEWS – Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam perayaan HUT ke-17 Gerindra, yang menyinggung para pengkritiknya dengan kata “ndasmu”, telah memicu beragam reaksi. Pengamat politik menilai ungkapan tersebut berlebihan dan tidak pantas bagi seorang kepala negara, kekanak-kanakan.
Kata-kata “ndasmu” itu terlontar kala Prabowo, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, berbicara terkait tiga hal, pembentukan kabinet, makan bergizi gratis, dan kedekatannya dengan mantan presiden Joko Widodo.
Teuku Harza Mauludi dari Puskapol UI mengaitkan reaksi Presiden Prabowo dengan ketidakbiasaan menerima kritik, dukungan partai yang kuat, dan klaim tingkat kepuasan publik yang tinggi. Hal ini menunjukkan kompleksitas dalam memahami kepemimpinan di tengah sorotan publik.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Lely Arrianie dari LSPR. Ia mengingatkan bahwa terus menerus membalas kritik dengan ungkapan tidak pantas dapat berdampak negatif pada elektabilitas Presiden Prabowo.
Tanggapan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, yang menyatakan Presiden Prabowo tetap mendengarkan kritik, menunjukkan upaya untuk meredam kontroversi dan menjaga citra positif.
Kejadian ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kesantunan dan kebijaksanaan dalam berpolitik. Seorang pemimpin dituntut untuk mampu menerima kritik dengan bijak dan meresponnya dengan cara yang konstruktif, bukan dengan reaksi emosional yang dapat mencederai citra kepemimpinannya.
Sementara itu masyarakat menilai apa yang dikatakan Presiden dengan menyebut “ndasmu”, kata itu meluncur tajam, seperti dentuman sepatu lars di lantai perintah. Di balik senyum yang dulu dijual lunak, tersisa sisa gemuruh taring baja.
Kritik datang, bertubi-tubi, kabinet gemuk, rakyat sesak, program melayang, visi tak jelas, tapi jawabannya bukan kebijakan, hanya satu kata “ndasmu”. Hal itu disampaikan Mahsus Zaenal Arief salah satu bagian masyarakat yang kecewa terhadap apa yang di ucapkan Presiden Prabowo.
“Begitulah, panglima tetap panglima, meski kini seragamnya berganti jas, meski podium bukan lagi medan perang, tetap saja, musuhnya kritik, lawannya rakyat,” ujar Mahsus.
Dia lantas mempertanyakan, dimana kenegarawanan itu? Di mana pemimpin yang dulu dijanjikan? Ataukah demokrasi hanya tirai tipis, menyelubungi naluri komando yang tak pernah mati?
“Ndasmu”, Pak Presiden, bukan hanya tentang kasar dan marah, tapi tentang lupa, bahwa rakyat bukan bawahan, dan negeri ini bukan barak,” ujarnya.
Kemampuan menghadapi kritik dengan dewasa merupakan tanda kematangan dan kedewasaan seorang pemimpin. Diharapkan kejadian ini menjadi momentum refleksi bagi semua pemimpin untuk terus meningkatkan kualitas komunikasi dan kepemimpinannya. (red/akha)