SUARASMR.NEWS – Hiruk pikuk Desa Canggu terlihat jelas setiap malam tahun baru. Siapa yang tak tahu, kawasan tersebut terkenal dengan wisata hiburan malam. Sebagian besar wisatawan di Canggu mengunjungi kelab malam, diskotek, bar, dan tempat karaoke. Bahkan pada tahun 2024, Canggu mengalami laju pertumbuhan wisatawan asing sebesar 48,95 persen dari bulan ke bulan.
Ramainya wisatawan di Canggu dapat menstimulus kegiatan perekonomian di Kabupaten Badung. Peningkatan produktivitas di sektor hiburan seharusnya juga memberikan efek pengganda (multiplier effect) kepada pemerintah daerah setempat.
Sayangnya, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Badung melaporkan pajak hiburan hanya berkontribusi 2,6 persen dari PAD.
Pajak hiburan hanya menyumbang sekitar Rp168 miliar ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Badung tahun 2024. Dimana jenis pajak yang mendominasi PAD Kabupaten Badung adalah Pajak Hotel dan Restoran (PHR), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).
Tak heran karena nature dari PHR dan BPHTB memiliki dasar pengenaan pajak dengan nominal besar setiap kali transaksi, berbeda dengan pajak hiburan yang cenderung lebih kecil.
Namun, yang perlu disoroti bukanlah nominal kontribusi pajak hiburan yang kecil terhadap PAD melainkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengoptimalisasi pemungutan pajak hiburan. Terlebih lagi, berdasarkan aspek kedaerahan sektor pentolan dari daerah tersebut adalah sektor hiburan.
Apa Itu Kemandirian Fiskal Daerah?: Pada era otonomi daerah dan desentralisasi, pemerintah daerah merupakan pemegang tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya fiskal yang nantinya digunakan untuk mendukung pembangunan di daerahnya.
Meskipun pemerintah pusat memberikan anggaran spesifik untuk pemerintah daerah, itu bukanlah alasan bagi pemerintah daerah untuk bergantung pada Dana Bagi Hasil (DBH).
“Untuk itu, pemerintah daerah perlu untuk bisa mengoptimalisasi PAD dari segala bentuknya, mulai dari pajak, retribusi, hingga hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.”
Selain untuk pemerintah pusat, optimalisasi PAD juga memberikan dampak positif kepada pemerintah pusat, yaitu memberikan ruang untuk lebih fokus pada program program prioritas nasional yang strategis.
Dampak positif ganda dari kemandirian fiskal daerah mengartikan perlunya dukungan dan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam optimalisasi local taxing power.
“Untuk itu, setiap perilisan aturan dan kebijakan, haruslah diselaraskan terlebih dahulu agar tidak tumpang tindih, terlebih lagi malah memperlemah local taxing power.”
Apakah Pajak Hiburan Mencerminkan Kemandirian Fiskal Daerah?: UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) terbit dengan kontroversi yaitu tarif pajak hiburan mengalami kenaikan.
Pihak yang diresahkan oleh kenaikan tarif pajak hiburan tertentu adalah Pengusaha di bidang diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Pasalnya tarif pajak hiburan tersebut naik menjadi 40 persen hingga 75 persen.
Dalam rentang tersebut, pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk menetapkan tarif sesuai dengan kemampuan fiskal dari masing-masing daerah. Sedangkan untuk jenis hiburan selain “hiburan malam” turun dari 35 persen menjadi 10 persen. Lalu apakah batas minimal 40 persen mampu menunjukkan kemampuan fiskal dari semua daerah?
Kenaikan tarif pajak hiburan tertentu membuat geram pelaku usaha di daerah yang mengandalkan hiburan malam sebagai mata pencaharian mayoritas masyarakatnya misalnya Kabupaten Badung, Bali.
Sejumlah protes dilakukan dan berakhir pada relaksasi tarif pajak hiburan tertentu menjadi 15 persen oleh Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Kabupaten Badung.
Relaksasi tarif ini dilakukan dalam rangka mendukung pelaku usaha untuk menciptakan iklim bisnis yang kompetitif. Lain halnya dengan Kota Denpasar, dan Kabupaten Badung, sejumlah kota/kabupaten di provinsi lain sudah menerapkan kenaikan tarif pajak hiburan tertentu.
Daerah yang sudah menerapkan tarif pajak hiburan tertentu sebesar 40 persen adalah Surakarta, Yogyakarta, dan Mataram diikuti dengan daerah yang mengenakan tarif pajak hiburan tertentu sebesar 50 persen yaitu Bandung, Bogor, Sukabumi, dan Surabaya.
Beberapa kota juga sudah menetapkan tarif pajak hiburan tertentu dengan batas tertinggi 75 persen yaitu Aceh Besar, Banda Aceh, Binjau, Padang, dan Depok. Melihat sebaran daerah yang setuju dan tidak setuju terhadap kenaikan tarif pajak hiburan tertentu mengindikasikan bahwa local taxing power terhadap sektor tertentu setiap daerah berbeda-beda tergantung aspek kedaerahan.
“Maka dari itu, rentang tarif 40 persen sampai dengan 75 persen belum mencerminkan kemandirian fiskal daerah tertentu seperti Bali karena tidak sesuai dengan aspek kedaerahan.”
Apa Alasan Dibalik Naiknya Tarif Pajak Hiburan?: Taktik pemerintah pusat untuk menaikkan tarif pajak hiburan malam tetapi menurunkan tarif pajak hiburan lainnya, mencerminkan fokus pemerintah dalam menekan aktivitas hiburan malam.
Dalam siaran pers, pemerintah mempertimbangkan jasa hiburan malam pada umumnya hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu. Beberapa pengamat pajak berpendapat bahwa ini bukan sekadar karena dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.
Ia menyoroti hiburan lain seperti kontes kencantikan dan pacuan kuda yang juga merupakan jasa yang dikonsumsi sebagian besar oleh orang kaya tetapi tidak dikenakan tarif 40 persen sampai dengan 75 persen ini.
Ditambah lagi alasan mengenai naiknya tarif pajak hiburan tertentu ini juga tidak tertera pada UU HKPD sehingga, pengamat pajak berspekulasi tujuan dari kenaikan tarif pajak hiburan tertentu untuk menekan aktivitas ilegal seperti perjudian yang banyak terungkap di tempat-tempat hiburan malam.
Hal ini didukung oleh Mantan Ketua Asosiasi Pengusaha Tempat Hiburan Hiburan Jakarta yang menegaskan bahwa 75 persen tempat hiburan di Jakarta terdapat aktivitas ilegal seperti perjudian, narkoba, dan prostitusi.
Jika memang pemerintah menggunakan kenaikan tarif pajak hiburan sebagai “pajak tidak langsung” atas transaksi ilegal pada tempat hiburan malam, nampaknya kurang efektif. Perjudian misalnya, tergolong ke dalam underground economy yangmana pelacakan aktivitasnya susah karena tersembunyi dan tidak tercatat dalam sistem resmi.
Ditambah fakta bahwa perjudian yang marak terjadi kini adalah judi online bukan di tempat hiburan malam. Alih-alih efektif mengurangi perilaku buruk masyarakat melalui kenaikan tarif pajak hiburan, justru kebijakan ini berefek domino terhadap peningkatan bar-bar ilegal hingga meningkatnya pengangguran akibat bar-bar legal kalah bersaing.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?: Kenaikan tarif pajak hiburan tertentu menghadapi banyak tantangan, mulai dari kesangsian terhadap alasan kenaikan tarif dengan alibi bahwa jasa ini hanya dikonsumsi tertentu, efek domino kenaikan pajak hiburan yang merugikan, hingga kontradiksi kemandirian fiskal pada daerah-daerah tertentu.
Berkaca dari beberapa negara yang secara tegas mengenakan pajak langsung atas perjudian seperti Singapura, Makau, hingga Filipina yang memajaki pendapatan dari operator perjudian termasuk kasino dan platform online, maka sebaiknya pemerintah pusatlah yang mengambil alih dengan skema Pajak Penghasilan (PPh) bukan pemerintah daerah.
Dengan demikian, kebijakan ini perlu untuk dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji keseimbangan antara kepentingan fiskal pemerintah dan keberlangsungan industri hiburan yang berkontribusi pada perekonomian lokal.
Hasil judicial review oleh MK pun terbit pada 3 Januari 2025, dimana MK telah mengabulkan sebagian judicial review pada beberapa pasal dalam UU HKPD. Sayangnya, keputusan ini tidak sepenuhnya memuaskan banyak pengusaha karena hanya spa atau mandi uap yang dikeluarkan dari kategori hiburan. (red/niluh)
*Pandangan dan opini dalam artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.