SUARASMR.NEWS – Data dari Kanit II Subdit IV Perlindungan Perempuan dan Anak Polda Bali, AKP Nyoman Sri Utami, menunjukkan fluktuasi jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bali antara tahun 2018 hingga 2024.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), penanganan kasus mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak dan KUHP. Penerapan UU TPKS sejak 2022 memberikan kerangka hukum baru dalam penindakan.
“Terkait tentang kasus kekerasan seksual di Bali bisa terjadi pada anak dan bisa terjadi pada Perempuan. Dulu sebelum ada Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) ini kita masih berfokus pada kekerasan itu menggunakan undang-undang yang lama,” kata AKP Sri Utami dikutip suarasmr.news, Selasa (17/12/2024).
Sri Utami menjelaskan, kalau pada anak menggunakan Undang-undang Perlindungan Anak dan untuk kekerasan pada perempuan yang sudah dewasa menggunakan Undang-undang KUHP. Namun pada saat ini dengan berkembangnya UU TPKS itu ada beberapa kasus yang ditindaklanjuti dengan dengan UU TPKS ini sendiri.
Data kasus pemerkosaan menunjukkan variasi yang signifikan: 8 kasus (2018), 3 kasus (2019), 10 kasus (2020), 1 kasus (2021), 8 kasus (2022), 8 kasus (2023), dan 3 kasus (2024) (data 2024 masih sementara).
Data ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat peningkatan jumlah kasus pada beberapa tahun, jumlah kasus juga mengalami penurunan di tahun-tahun tertentu.
Perlu penelitian lebih lanjut untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan fluktuasi ini, seperti peningkatan kesadaran masyarakat, efektivitas penegakan hukum, atau faktor-faktor sosial lainnya.
Kemudian kasus pencabulan yang terjadi di tahun 2018 ada 25 kasus, tahun 2019 ada 21 kasus, tahun 2020 ada 24 kasus, tahun 2021 ada 15 kasus, tahun 20222 ada 11 kasus, tahun 2023 ada 7 kasus dan tahun 2024 baru ada 1. Jadi data ini belum keseluruhan dari 2024 karena biasanya kita mendata per tri semester, 6 bulan pertama dan di akhir tahun.
“Untuk kasus kasus KDRT yang menimpa Perempuan juga masih mendominasi. Jadi kasus KDRT di Bali cukup banyak, yaitu tahun 2018 ada 128 kasus, 2019 ada 142 kasus, 2020 ada 94 kasus, 2021 ada 84 kasus, 2022 ada 81 kasus, 2023 ada 107 kasus dan 2024 baru 77 kasus,” jelas Sri Utami.
Meskipun data hanya mencakup kasus pemerkosaan, jenis kekerasan lain seperti pencabulan dan KDRT juga terjadi dan perlu diperhatikan dalam upaya pencegahan dan perlindungan korban.
Pentingnya terus meningkatkan kesadaran masyarakat dan memperkuat penegakan hukum untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan tetap menjadi prioritas utama. Dengan upaya bersama, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bali dapat terus ditekan. (red/niluh)