SUARASMR.NEWS – Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden AS Donald Trump berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, yang meminta Bank Indonesia (BI) untuk segera mengambil langkah-langkah stabilisasi.
“Pada saat pasar sedang libur lebaran, saat ini adalah waktu yg tepat bagi Bank Indonesia untuk melakukan exercises kebijakan stabilisasi nilai tukar yang paling tepat saat pasar kembali buka,” kata Misbakhun dalam keterangan yang diterima suarasmr.news, Sabtu (4/4/2025).
Kekhawatiran utama adalah potensi penurunan nilai Rupiah yang melewati angka psikologis, mengingat prediksi kenaikan harga barang di AS dan potensi penurunan suku bunga The Fed sebagai respons terhadap inflasi.
“Penurunan tingkat suku bunga The Fed akan menjadi pemicu ketidakpastian lagi sehingga prediksi pertumbuhan ekonomi akan mengalami koreksi, dan itu membuat kekhawatiran pada ketidakpastian baru di pasar uang. Kondisi ini akan memberikan tekanan koreksi negatif pada nilai tukar Rupiah atas dolar AS,” katanya.
Penurunan suku bunga tersebut dapat memicu ketidakpastian di pasar uang dan menekan nilai tukar Rupiah.
Lebih lanjut, kebijakan ini juga berpotensi menekan kinerja ekspor Indonesia ke AS, yang pada tahun 2024 mencapai 26,4 miliar dolar AS atau 9,9% dari total ekspor nasional. Ekspor Indonesia ke AS didominasi oleh industri padat karya, sehingga kebijakan ini berisiko memukul sektor tersebut.
Misbakhun memandang kebijakan tarif ala Presiden Trump itu akan memukul industri produk ekspor di Indonesia. Di mana, ekspor Indonesia ke AS didominasi industri padat tenaga kerja, seperti tekstil, garmen, alas kaki, minyak sawit (CPO), hingga peralatan elektronik.
“Industri-industri tersebut akan mengalami tekanan pada harga mereka di pasar AS yang menjadi lebih mahal karena terkena dampak tarif tambahan baru. Untuk bisa bersaing dari sisi harga, produk buatan Indonesia harus makin efisien dalam struktur biaya produksi, sekaligus untuk menjaga kelangsungan usaha mereka,” katanya.
Dia menambahkan dampak tarif tambahan baru di AS pasti akan memengaruhi kinerja ekspor Indonesia yang membawa dampak tekanan bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia yang berorientasi ekspor, bahkan bisa berefek ke anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
“Bisa jadi tekanan itu akan memengaruhi struktur laba mereka dan akan memberikan dampak pada pembayaran pajak mereka ke negara. Selama ini kinerja penerimaan negara dari pajak, bea masuk, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sangat dipengaruhi oleh kinerja ekspor dan faktor harga komoditas dunia. Jadi, target penerimaan negara dalam APBN 2025 harus dihitung ulang,” ujarnya.
Diketahui sebelumnya, Rabu (2/4/2025), Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara termasuk Indonesia, yang efektif 3 hari setelah diumumkan.
Kebijakan Trump itu bakal diterapkan secara bertahap, yaitu mulai dari pengenaan tarif umum 10 persen untuk seluruh negara terhitung sejak tanggal 5 April 2025, kemudian tarif khusus untuk sejumlah negara termasuk Indonesia mulai berlaku pada 9 April 2025 pukul 00.01 EDT (11.01 WIB).
Akibat kebijakan baru tersebut, semua impor yang berasal dari Indonesia akan dikenai tarif sebesar 32 persen oleh pemerintah AS. Oleh karena itu, penting bagi BI untuk mengambil langkah-langkah antisipatif dan strategis untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, terutama mengingat periode libur Lebaran yang lalu.
Kesempatan ini dapat dimanfaatkan BI untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan stabilisasi yang tepat sebelum pasar kembali aktif. Diharapkan BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah akan sangat krusial bagi perekonomian Indonesia dan kesejahteraan rakyat.
Sangat penting bahwa langkah-langkah yang diambil BI dapat efektif dalam menghadapi tantangan ini dan menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap positif. (red/akha)