SUARASMR.NEWS – Tahun Baru Imlek, atau yang lebih dikenal sebagai Tahun Baru Cina, merupakan perayaan penting bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Perayaan ini bukan sekadar pesta meriah, tetapi juga mengandung makna mendalam yang diwariskan turun-temurun.
Di Indonesia, perayaan Tahun Baru Imlek memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan migrasi masyarakat Tionghoa ke Nusantara. Sejak abad ke-15, para pedagang Tionghoa telah berlayar ke Indonesia dan membawa budaya mereka, termasuk tradisi Tahun Baru Imlek.
Dikutip suarasmr.news dari berbagai sumber, bahwa makna utama dari Tahun Baru Imlek adalah pergantian tahun dan awal baru. Perayaan ini menjadi momen untuk meninggalkan hal-hal buruk di tahun sebelumnya dan menyambut harapan baru di tahun yang akan datang.
Masyarakat Tionghoa percaya bahwa Tahun Baru Imlek adalah waktu yang tepat untuk memulai sesuatu yang baru, seperti bisnis, hubungan, atau proyek.
Tradisi Tahun Baru Imlek di Indonesia sangat beragam, mulai dari menghiasi rumah dengan lampion merah, menyantap hidangan khas seperti kue keranjang dan ikan, hingga memberikan angpao kepada anak-anak. Tradisi ini melambangkan keberuntungan, kemakmuran, dan kebahagiaan.
Salah satu tradisi yang paling populer adalah mengucapkan “Gong Xi Fa Cai”, yang berarti “Semoga Anda mendapatkan kekayaan dan kemakmuran”. Ucapan ini menjadi simbol harapan dan doa untuk tahun yang penuh keberuntungan.
Perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia tidak hanya menjadi momen penting bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga menjadi bagian integral dari budaya Indonesia. Perayaan ini menunjukkan keragaman budaya dan toleransi antar-agama di Indonesia.
Lantas, apa arti kata Imlek? Kata Imlek memang berasal dari bahasa Mandarin. Namun spesifiknya, kata tersebut lahir dari dialek Hokkien. Dalam dialek Hokkien, Imlek (dibaca im-le̍k) terdiri atas dua suku kata, di mana im berarti ‘bulan’ dan lek berarti ‘penanggalan’. Dari situ, arti Imlek adalah ‘kalender bulan’.
Istilah Imlek berbeda lagi dalam bahasa Mandarin. Kata tersebut dikenal dengan sebutan yin li (dibaca yīn lì). Maknanya juga sama, yaitu ‘lunar calendar’ atau ‘kalender bulan’. Selain Imlek, ada juga istilah lain yang digunakan untuk mengacu Tahun Baru China. Itu adalah Sin Cia.
Secara bahasa, sin artinya ‘baru’ dan cia bermakna ‘bulan pertama’. Dari penjelasan tersebut, maka sin cia diterjemahkan sebagai bulan pertama pada kalender China yang baru.
Berdasarkan penelitian berjudul ‘Fungsi dan Makna Penyambutan Hari Raya Imlek pada Masyarakat Etnis Tionghoa di Kota Bandar Lampung’, perayaan Imlek memiliki makna sebagai perwujudan dari harapan-harapan masyarakat Tionghoa. Harapan itu di antaranya keselamatan, kemakmuran, dan kesejahteraan.
Komunitas Tionghoa di Indonesia merayakan Imlek dengan ucapan syukur atas rezeki yang diberikan selama tahun sebelumnya. Selain itu, perayaan Imlek menjadi simbol agar tahun ini menjadi tahun yang berkah dan lebih dibandingkan sebelumnya. Adapun Imlek ini dirayakan selama 15 hari dengan berbagai tradisi di dalamnya.
Sejarah Perayaan Imlek. Awalnya, perayaan Imlek dilaksanakan oleh para petani di China untuk menyambut kedatangan musim semi. Konon, ada seekor binatang raksasa bernama Nian yang hendak memakan manusia pada pergantian tahun.
Hingga suatu saat, datang seorang kakek yang menantang Nian untuk memangsa binatang pemangsa lainnya. Nian menerima tantangan itu dan memakan hewan pemangsa lainnya sehingga membawa kedamaian dan kegembiraan.
Setelah itu, Nian dan si Kakek yang merupakan seorang dewa itu menghilang. Sebelum pergi, kakek memberikan pesan kepada warga agar memasang dekorasi kertas berwarna merah yang menjadi ketakutan Nian di pintu dan jendela.
Tak hanya itu, masyarakat juga diminta menggunakan petasan untuk mengusir Nian. Oleh karena itu, perayaan Imlek atau Sin Tjia dirayakan dengan cara menggantung lampion merah dan melepaskan petasan di malam pergantian tahun baru.
Sejarah Perayaan Imlek di Indonesia: Perlu diketahui bahwa Tahun Baru Imlek memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Berikut ini penjelasannya dari masa ke masa, yang dikutip dari laman Indonesia Baik.
Pada 1946, saat Republik Indonesia baru terbentuk, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah Mengenai Hari-hari Raya Umat Beragama No.2/OEM-1946. Pasal 4 dari penetapan tersebut menetapkan 4 hari raya bagi orang Tionghoa.
Yakni Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu (tanggal 18 bulan 2 Imlek), Ceng Beng, dan hari lahirnya Khonghucu (tanggal 27 bulan 2 Imlek). Dengan demikian, secara jelas dinyatakan bahwa Hari Raya Tahun Baru Imlek Kongzili merupakan bagian dari hari raya agama Tionghoa.
Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No.14/1967 yang berkaitan dengan Pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut diatur bahwa semua Upacara Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa hanya boleh diselenggarakan di lingkungan keluarga dan di dalam ruangan tertutup.
Pada masa orde baru, perayaan Imlek masih dibatasi hingga setelah reformasi. Pada tahun 2000, pemerintah memberikan kebebasan kepada masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk merayakan tahun baru Imlek yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Presiden Abdurrahman Wahid juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Selanjutnya, pada tahun 2003, Imlek diresmikan sebagai salah satu libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Tahun Baru Imlek adalah perayaan yang penuh makna dan tradisi. Di Indonesia, perayaan ini telah menjadi bagian dari budaya dan sejarah bangsa. Melalui perayaan ini, kita dapat belajar tentang nilai-nilai luhur seperti harapan, keberuntungan, dan persatuan. (red/akha)