SUARASMR.NEWS – Pemerintah telah resmi menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% untuk tahun 2025. Kenaikan ini, yang melebihi usulan awal sebesar 6%, merupakan kabar gembira bagi para pekerja di seluruh Indonesia.
Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya para pekerja yang merupakan tulang punggung perekonomian negara.
Kenaikan UMP ini perlu dilihat dalam konteks garis kemiskinan. Garis kemiskinan, baik per kapita maupun per rumah tangga, menunjukkan kebutuhan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Meskipun besaran UMP di beberapa provinsi kini lebih tinggi dari garis kemiskinan per rumah tangga, hal ini bukan berarti masalah kemiskinan terselesaikan sepenuhnya. Namun, kenaikan UMP ini setidaknya memberikan harapan baru bagi para pekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan lebih layak.
Ini merupakan langkah positif menuju peningkatan kualitas hidup dan pengurangan angka kemiskinan. Ke depannya, pemerintah diharapkan terus berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan memastikan UMP selalu relevan dengan kebutuhan hidup yang terus meningkat.
Dikutip dari berita Antara, yang menyebutkan bahwa pada sebagian besar provinsi seperti Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan lainnya, UMP 2025 masih lebih rendah dibandingkan garis kemiskinan per rumah tangga di provinsi tersebut.
Sebagai contoh, UMP 2025 di Maluku hanya mencapai Rp3.141.700, sementara garis kemiskinan per rumah tangga di sana pada Maret 2024 sudah mencapai Rp4.602.094.
Sementara itu, di provinsi lain seperti Jawa Timur, di mana proporsi penduduk miskin mencapai 15,79 persen dari total penduduk miskin, UMP 2025 hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan garis kemiskinan per rumah tangga. Garis kemiskinan per rumah tangga pada Maret 2024 di Jawa Timur mencapai Rp2.273.157, sedangkan UMP 2025 yang ditetapkan hanya sebesar Rp2.305.985.
Kondisi-kondisi ini menyoroti fakta bahwa penetapan UMP belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan rupiah yang diperlukan rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan dasar di beberapa daerah.
Jika upah yang didapat oleh pekerja tidak lebih besar dari garis kemiskinan, dalam hal ini pekerja tersebut menanggung untuk satu rumah tangga, maka tentu rumah tangga tersebut sulit lepas dari status rumah tangga miskin.
Begitu juga dengan UMP yang hanya sedikit di atas garis kemiskinan. Sebuah guncangan kecil seperti kenaikan harga kebutuhan pokok misalnya, tentu dapat dengan cepat menjerumuskan rumah tangga pekerja tersebut ke dalam kemiskinan.
Dari sinilah, penentuan UMP dengan mempertimbangkan garis kemiskinan menjadi penting. Artinya, penyesuaian UMP tidak lagi hanya soal bagaimana meningkatkan pendapatan pekerja, tetapi bagaimana UMP juga bisa menjadi benteng pertahanan masyarakat agar tidak jatuh ke dalam lingkaran kemiskinan baru.
Kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5 persen sebenarnya cukup memberikan angin segar bagi para pekerja. Namun, tentu akan lebih baik jika garis kemiskinan per rumah tangga, yang digunakan sebagai tolok ukur minimal untuk memenuhi kebutuhan dasar, juga menjadi acuan penting dalam menentukan UMP.
Hal ini agar paling tidak, UMP tersebut sudah pasti cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga, sehingga beban mereka juga lebih ringan. Apalagi, per 1 Januari 2025 tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga telah dipastikan naik menjadi 12 persen.
Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan, kenaikan PPN pada 2025 akan memicu inflasi hingga 4,11 persen dari tingkat inflasi tahunan per November 2024 yang masih sebesar 1,55 persen.
Selain itu, banyak pakar juga menyampaikan bahwa kebijakan tersebut akan melemahkan daya beli masyarakat, apalagi kelompok menengah-bawah. Kelompok barang kebutuhan seperti makanan, minuman, dan transportasi diproyeksikan akan mengalami lonjakan harga, terutama di wilayah dengan sistem distribusi yang tidak efisien.
Kenaikan harga tersebut berpotensi menggerus daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah dan rentan, yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Terlebih lagi pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang bekerja di wilayah dengan UMP yang hanya sedikit di atas garis kemiskinan. Dampaknya akan sangat terasa bagi mereka dengan potensi untuk jatuh ke dalam kemiskinan yang semakin besar.
Setiap kenaikan harga barang berarti pengurangan konsumsi atau pengorbanan kebutuhan penting lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan. Bagi kelompok masyarakat rentan, situasi ini dapat semakin memperburuk kondisi ekonomi mereka.
Apalagi, keluarga kelompok pekerja berpenghasilan rendah sering kali tidak memiliki tabungan atau aset untuk menyerap dampak dari kenaikan biaya hidup.
Ketika harga barang naik, mereka terpaksa berhutang atau mencari penghasilan tambahan di sektor informal. Kondisi ini dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi rumah tangga yang lebih besar dan berpotensi bisa meningkatkan angka kemiskinan.
Meskipun Pemerintah telah menyiapkan berbagai stimulus kebijakan untuk meredam dampak kenaikan PPN, namun efektivitasnya masih dianggap meragukan.
Pasalnya, sebagian besar rencana stimulus yang diberikan bersifat sementara, seperti misalnya insentif bantuan pangan dalam bentuk beras sebanyak 10 kilogram per bulan untuk tiap keluarga yang akan diberikan kepada 16 juta keluarga, bantuan pangan ini hanya akan diberikan selama dua bulan (Januari-Februari 2025).
Lalu, diskon listrik untuk pelanggan 450-2200 VA selama dua bulan pertama 2025, dan lain sebagainya. Guyuran insentif kebijakan yang hanya berlaku dalam hitungan bulan tersebut tentu belum cukup untuk mengatasi kenaikan biaya hidup akibat naiknya tarif PPN akan berlaku secara permanen.
Selain mereview kembali Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan yang telah disusun untuk menghadapi dampak kenaikan PPN 12 persen, ke depan, penentuan UMP juga perlu dievaluasi.
Saat ini, berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025, formulasi yang digunakan dalam penentuan UMP 2025 adalah dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu.
Seharusnya, penentuan UMP juga perlu didasarkan pada proyeksi dampak inflasi akibat kenaikan PPN maupun kenaikan biaya hidup lainnya serta mempertimbangkan komponen kebutuhan hidup layak yang relevan dengan kondisi masing-masing daerah.
Diharapkan dengan kenaikan UMP ini dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi kehidupan para pekerja dan keluarga mereka, membuka jalan menuju masa depan yang lebih sejahtera dan penuh harapan. (Akha)