SUARASMR.NEWS – Kasus pungutan liar (pungli) di Kelurahan Kebraon, Kecamatan Karangpilang, Surabaya, kembali menyalakan alarm bahaya praktik korupsi di tingkat pelayanan publik.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menegaskan akan menjatuhkan sanksi tegas kepada oknum pegawai yang terlibat, namun aktivis antikorupsi menilai persoalan ini jauh lebih besar daripada sekadar oknum.
Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Jawa Timur, Heru Satriyo, menilai pungli di Kebraon hanya puncak gunung es.
“Kasus ini menunjukkan masih ada celah di tingkat bawah. Di daerah lain, pungli seperti pembuatan KTP, KK, hingga surat pindah domisili juga sering terjadi dengan alasan biaya administrasi,” ujarnya di Surabaya, Selasa (16/9/2025).
Heru menekankan bahwa akar persoalan ada pada lemahnya sistem pengawasan dan minimnya sosialisasi. Digitalisasi layanan administrasi kependudukan (adminduk) memang mempermudah proses, namun belum semua masyarakat mampu mengaksesnya.
“Aplikasi online mempermudah, tapi tidak semua warga bisa menggunakannya. Pendampingan tatap muka tetap dibutuhkan agar masyarakat tidak tertinggal,” tegasnya.
Menurut Heru, pemberian sanksi hanyalah langkah jangka pendek. Yang jauh lebih penting adalah kehadiran nyata pemerintah dalam memahami kesulitan warganya.
“Transparansi dan kedekatan dengan masyarakat adalah kunci. Pemkot harus memastikan pelayanan publik dirancang lebih adil dan bebas pungli, bukan hanya menunggu laporan pelanggaran,” ujarnya.
Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur sebelumnya juga menerima laporan pungli serupa dari beberapa kelurahan lain, termasuk dalam pengurusan percepatan KTP dan surat pindah domisili.
Fakta ini menunjukkan bahwa pungli bukan sekadar kasus perorangan, melainkan masalah sistemik yang membutuhkan pengawasan ketat, partisipasi masyarakat, dan komitmen pemerintah untuk membangun layanan publik yang benar-benar bersih. (red/akha)
